Laporan Wartawan Tribunnews.com, Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Tahu enggak, kamu mati pun bapakmu tidak peduli," kisah Buniarti Ningsing kepada putranya Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok saat masih kecil. Pada 1966 silam, masyarakat Belitung dilanda kelaparan.
Sang ayah saat itu sudah membeli dua kaleng minyak wadah beras untuk jatah makan Ahok kecil. Ia tak enak hati mengetahui temannya datang meminta bantuan beras karena anaknya belum makan. Sehingga satu kaleng diberikan.
Tahu suaminya hendak memberikan sekaleng beras jatah Ahok kepada orang lain, Buniarti berang. Alasannya, kondisi keluarga saat itu juga sedang sulit. Tetapi ayahnya tetap memaksa memberikan satu kaleng.
Buniarti mengingatkan suaminya, anaknya terancam mati jika sekaleng beras diberikan kepada orang lain. Apalagi persediaan beras akan habis. "Kan masih ada satu kaleng," kata Ayahnya seperti ditirukan Ahok.
Lagi-lagi, ayah Ahok punya sejuta alasan agar sekaleng beras tetap diberikan kepada temannya. "Kan masih ada waktu, nanti kita cari lagi," kata Ahok menirukan jawaban sang ayah.
Kisah sekaleng beras dan pertengkaran ayah ibunya itu Ahok sampaikan saat peluncuran buku berjudul 'Mendidik Pemimpin dan Negarawan' di Balai Agung, Jakarta, Senin (3/11/2014).
Saat itu, ayah Ahok memintanya tak cukup untuk menjadi pengusaha memberi makan karyawannya. Ahok diminta menjadi pejabat jika ingin memakmurkan warganya, karena memiliki kemampuan menyalurkan kekuasaannya.
Ahok baru tahu dari cerita ayahnya, dalam filsafat Tiongkok pedagang hanya berada di struktur keenam masyarakat. Sementara posisi pejabat ada di posisi teratas.
"Ternyata pedagang itu urutannya ke enam. Jadi urutan pertama paling tinggi itu pejabat. Nah kedua kalau tidak salah petani yang menghidupi orang banyak, ketiga itu pegawai. Nah ini filsafatnya kayak begitu," terang Ahok.
Pria yang pernah menjadi Bupati Belitung Timur masih ingat betul apa yang diucapkan bapaknya Indra Tjahaja Purnama. Ayahnya selalu mengulang cerita, orang miskin tidak mungkin bisa melawan orang kaya, orang kaya tidak bisa menantang pejabat.
"Kalau kamu mau bantu rakyat, jadilah pejabat. Kalau sudah jadi pejabat, pemimpin harus putuskan benar salah relatif. Pastinya, jika ada persoalan harus kita putuskan dengan cepat, tak bisa ditunda dan tidak ada keraguan. Segala risiko anda harus pikul tanggung jawab. Jadi kalau ada orang datang, harus diputuskan," ungkapnya.
Cerita tersebut merupakan gambaran bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan cepat. Jangan berfikir kesulitan beberapa hari atau beberapa bulan kemudian, tapi langsung dihitung saja manfaat dan mudaratnya.