News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pesawat AirAsia Jatuh

Travel Warning AS Keluar 9 Hari Setelah AirAsia Jatuh, Ada Apa?

Penulis: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Titik lokasi jatuhnya AirAsia QZ8501

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan, Marsma TNI (Purn) Raman R. Saman, menyoroti soal keamanan terbang (Flight Security) dibalik kecelakaan yang menimpa AirAsia QZ-8501.

"Walaupun secara awam dapat diduga bahwa dalam, musibah QZ-8501 tidak terdapat jejak-jejak sabotase (ledakan, dan lain-lain) namun tetap harus waspada dan memperhatikan aspek Flight Security," kata Raman dalam analisisnya seperti dikutip Tribunnews.com, Senin (6/1/2015).

Dosen PPDS-KP (Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan) S-2 FKUI Jakarta ini mencontohkan sembilan hari setelah musibah kecelakaan AirAsia QZ-8501 itu, Kedubes Amerika Serikat mengeluarkan Travel Ban yang melarang warga negara Amerika Serikat (AS) untuk bepergian ke Surabaya. [BACA: Menkopolhukam: Tak Perlu Resah Travel Warning AS].

Dia juga memberikan contoh lain saat pemerintah Singapore mengajukan protes terhadap peresmian nama KRI Usman Harun (9/2/2014), lalu sebulan kemudian terjadi kebakaran/ledakkan Gudang Amunisi TNI AL di Pelabuhan Tanjung Priok (5/3/2014).

Dikatakan akibat tragedi AirAsia QZ-8501 langsung terjadi anjloknya harga saham dan jumlah penumpang AirAsia, namun sebaliknya dengan Singapore Airlines (SQ) dan Silk Air yang justru menanjak (mirip dengan ketika terjadi Tragedi Bom Legian 12/10/2012 dan Bom Kedubes Australia 9/9/ 2004).

Dikatakan Raman itu adalah dua musibah pada awal 2014 yang hanya berbeda 4 bulan, telah menimpa dua pesawat Malaysia Airlines (MAS), yaitu MH-370 (yang hingga kini tidak/belum ditemukan) dan MH-17 (yang hancur berkeping-keping akibat ditembak peluru Kendali di wilayah konflik Ukraina).

Yang diperkirakan keduanya merupakan kasus serangan terror yang ditujukan kepada operator MAS bahkan Malaysia (sebagai sebuah negara) atau mungkin juga terhadap pabrik Boeing serta AS sebagai negara asal, sedangkan jarak kasus MH-17 dengan QZ-8501 adalah sekitar lima bulan.

Hal lain yang disoroti Raman adalah tentang forensik penerbangan. Dikatakan dokter-dokter Spesialis Kedokteran Kehakiman (Forensik) dan Dokter Spesialis Patologi Anatomi (PA) diharapkan akan mengungkapkan tentang misteri, apakah penumpang dan Kabin Krew telah meninggal dulu dalam penerbangan baru kemudian tenggelam atau sebaliknya, sebelum masuk laut masih hidup lalu meninggal karena tenggelam yaitu dengan memeriksa Paru-paru dan tulang-tulangnya jenazah.

Raman selanjutnya menyoroti soal Lembaran Flight Plan (Rencana Penerbangan) telah dibuat oleh Pilot dan diserahkan kepada Petugas FLOPS( Fligt Operation) di Bandara Juanda.

"Dari Flight Plan tersebut dapat dipastikan apakah sebelum terbang Pilot telah memahami akan adanya bahaya Awan CB dahsyat yang menghadang dalam rute penerbangan dan apakah Pilot telah menetapkan tentang Bandara Alternatif untuk dituju, bila menghadapi emerjensi atau kedaruratan dalam penerbangan," ujarnya.

Hal lain yang disoroti adalah soal Budaya “Return To Base” (RTB). Dikatakan walaupun Pilot telah dilatih untuk melakukan RTB kembali ke bandara awal dan menulis nama Bandara Alternatif (Alternate Base) dalam flight plan yang diperlukan bila menghadapi bahaya/emerjensi dalam penerbangan, namun hampir semua Pilot tidak mematuhinya, dengan berbagai alasan Psikologis.

Hal ini, menurut dia, juga terjadi pada Pilot dalam musibah QZ-8501 AirAsia yang menelan korban 262 meninggal dunia dan juga Boeing Garuda yang ditching di Sungai Bengawan Solo dengan hanya seorang Pramugari yang meninggal dunia.

"Perlu indoktrinasi pada pilot Sipil dan Militer untuk mematuhi manuver RTB tersebut," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini