Faktor lain yang memungkinkan berpindah-pindahnya dukungan partai-partai terhadap kebijakan presiden di Indonesia adalah sempitnya jarak ideologis dan perbedaan platform kebijakan antarpartai dan antara koalisi-oposisi.
Bisakah kita membedakan secara tegas ideologi partai-partai di KIH dan KMP? Semuanya partai nasionalis (dengan berbagai gradasinya) dan berdasarkan Pancasila. Demikian juga platform kebijakan mereka. Di bidang ekonomi, misalnya, semua partai memperjuangkan ekonomi kerakyatan. Di bidang hukum, semuanya sepakat perlunya hukuman maksimal, termasuk hukuman mati, bagi pelaku kejahatan narkoba, dan sebagainya.
Kaburnya perbedaan ini membuat partai-partai tidak memiliki penghalang yang berarti untuk saling berkoalisi, baik itu sifatnya relatif permanen maupun berdasarkan isu-isu kebijakan tertentu (ad hoc).
Perubahan sikap partai-partai ini juga tak akan "dihukum" oleh basis utama pendukung partai di masyarakat. Bukan karena masyarakat tak memiliki kemampuan menghukum, melainkan karena basis utama pendukung partai-partai jumlahnya sedikit. Pendukung utama partai-partai adalah mereka yang relatif setia terus-menerus merasa menjadi bagian dari partai-partai. Ini disebut dengan party identification. Temuan riset opini publik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sepanjang 2004 hingga 2014 menunjukkan bahwa party identification di Indonesia sangat rendah, di kisaran 15-20 persen. Itu artinya, dukungan masyarakat kepada partai-partai juga sangat mudah berpindah. Maka, dalam mengambil keputusan untuk mendukung kebijakan presiden, partai-partai tidak begitu perlu memikirkan dampaknya terhadap basis utama pendukung mereka.
Dua kenyataan politik ini mengisyaratkan dua hal kepada presiden. Pertama, sangat mungkin partai pendukung presiden kadang-kadang (bahkan bisa sering) tidak mendukung kebijakannya. Maka, presiden harus selalu terbuka untuk melihat segala kemungkinan sumber dukungan. Kedua, dalam proses yang dinamis ini, presiden harus mengambil posisi memimpin, baik dari depan, dari tengah, maupun dari belakang. Kalau tidak, presiden akan terombang-ambing di antara berbagai kepentingan partai politik yang terus mendesakkan kepentingannya melalui penawaran dukungan politik.
Untuk itu, presiden harus menetapkan, menegaskan, dan konsisten dengan agenda prioritasnya. Apabila ini dimiliki dan dijalankan, presiden akan memiliki kriteria yang jelas akan bekerja sama atau tidak bekerja sama dengan partai mana dalam kebijakan-kebijakan yang akan dia jalankan.
Djayadi Hanan
Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina