TRIBUNNEWS.COM -Kegaduhan politik yang terjadi beberapa pekan terakhir merupakan konsekuensi dari panggung politik yang dipenuhi sejumlah politisi dan bukan negarawan. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo harus segera bertransformasi menjadi negarawan.
Pengamat politik Yudi Latif dalam diskusi Teras Kita bertajuk ”Meretas Kegaduhan Politik” yang digelar harian Kompas, radio Sonora, dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (21/2), di Jakarta, mengatakan, kenegarawanan Jokowi ditunggu untuk mencegah berulangnya kembali kegaduhan politik.
Selain Yudi, hadir peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottingi, Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, dan pengamat media Ashadi Siregar.
”Ketika panggung politik dipenuhi politisi, politik hanya dipersatukan kepentingan dan ketakutan. Di tengah kondisi itu, wajar jika kegaduhan politik terjadi,” ujar Yudi.
Saat pengusulan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri, Yudi melihat Presiden menunjukkan diri
sebagai politisi lihai. Tak hanya memperbaiki relasi politik dengan Koalisi Merah Putih, tetapi juga menyelesaikan masalah tersebut dengan memberhentikan dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, di sisi lain, Presiden berani membatalkan pencalonan Budi sekalipun berpotensi menimbulkan masalah dengan partai pengusungnya, PDI-P. Inilah keputusan yang dinanti publik sekaligus diyakini bisa mencegah kegaduhan terulang.
”Sebagai negarawan, Jokowi harus bisa menyelesaikan setiap masalah secara sistematis dan terstruktur, tak sekadar menerapkan manajemen pemadam kebakaran, yaitu baru selesaikan masalah jika ada kasus,” katanya.
Diakui Yudi, dalam empat bulan kepemimpinannya, Jokowi belum menunjukkan sikap kenegarawanan. ”Saat memilih menteri, banyak yang dipilih hanya atas pertimbangan politik, tak sesuai dengan standar penyelenggara pemerintahan. Begitu pula saat memilih anggota Dewan Pertimbangan Presiden,” ujarnya.
Hal senada diutarakan Mochtar. ”Ada empat syarat untuk menjadi negarawan, yaitu menegakkan integritas dan kompetensi serta menjalankan keabsahan prosedural dan struktural,” ungkapnya.
Abdi rakyat
Selain itu, tambah Mochtar, Jokowi harus bisa menunjukkan dirinya bukan petugas partai seperti yang pernah diungkapkan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. ”Kegaduhan politik bisa reda jika Jokowi menempatkan diri sebagai negarawan dan bukan petugas partai, melainkan abdi seluruh rakyat,” ucapnya.
Menurut Budiman, kegaduhan politik tak menutup kemungkinan terulang kembali pada masa mendatang. Terkait masalah calon Kepala Polri dan kisruh KPK-Polri, misalnya, kegaduhan bisa terjadi saat DPR membahas usulan baru calon Kapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti dan saat membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
”Kegaduhan politik di DPR adalah hal wajar. Tugas DPR mengawasi kebijakan pemerintah. DPR harus bersikap
kritis. Jika DPR seiya sekata dengan pemerintah, demokrasi jadi hampa,” katanya.
Sementara untuk mencegah kegaduhan politik, Ashadi mengingatkan media agar selalu mengedepankan pendekatan jurnalisme damai. Dengan pendekatan itu, publik melihat keunggulan manusiawi yang muncul dari seluruh proses. Ini penting karena politik dianggap sumber nilai dalam kehidupan publik. (APA)