TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia sebagai negara besar memiliki daya tawar yang tinggi menghadapi ancaman-ancaman dari negara lain yang dirugikan dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Seperti kebijakan Presiden Jokowi mengeksekusi mati terpidana narkoba menuai perlawanan dari negara asal terpidana mati diantaranya dari pemerintah Brasil, Belanda dan Australia.
Australia pihak yang paling keras melawan kebijakan Jokowi yang akan mengeksekusi dua warganya yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Setelah mencoba barter tahanan, cara lain dilakukan Australia dengan mengancam akan membeberkan kecurangan pilpres 2014.
Sejauh ini, Presiden Jokowi sejauh ini tak mengubris ancaman itu. Sikap Jokowi tersebut dinilai anggota Komisi I DPR Charles Honoris, tepat. Termasuk respon Kemenlu yang tetap memposisikan negara seperti Brasil, bahkan Australia sebagai teman.
"Sikap Presiden Jokowi sejauh ini sudah tepat dalam merespon dinamika dari negara yang warganya akan dieksekusi," kata Charles pada diskusi bertema "Mewujudkan Kedaulatan Bangsa melalui Revolusi Diplomasi" yang digelar di Aula gedung H Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Selasa (10/3/2015).
Sedangkan pembicara lain pakar hukum Internasional Aji Wibowo, Jubir Kemenlu Armanatha C Nasir dan Pengamat politik Yunarto Wijaya.
Politisi muda PDI Perjuangan ini menegaskan dalam merespon protes dan ancaman dari negara lain terkait eksekusi mati, pemerintah harus tegas. Ketegasan itu menurut dia bisa dilakukan lewat instrumen lain selain lewat jalur diplomasi yakni jalur perdagangan. Indonesia kata dia dimata dunia dikenal memiliki daya tarik di sektor perdagangan.
"Kita bisa cut kran impor daging dari negara Australia dan Brasil jika tak menghormati hukum yang diterapkan di Indonesia. Kita tidak rugi karena bisa didatangkan dari negara. Indonesia dalam sektor perdagangan memiliki milai tawar yang tinggi," tegas Charles.
Sedangkan Visi dan misi Presiden Jokowi terkait kebijakan luar negeri sudah cukup baik. Namun masih harus diperbaiki.Kemenlu misalnya sudah melaksanakan tugasnya secara maksimal. Jubir Kemenlu Armanatha C Nasir mengatakan sekalipun banyak negara melayangkan protes terhadap eksekusi mati tersebut namun negara tersebut tetap dijadikan teman, bukan musuh.
"Kemenlu juga sudah tegas. Tapi bisnis Kemlu bukan cari musuh tapi bikin sahabat," kata Armanatha.
Sementara pengamat politik Yunarto mengatakan Eksekusi mati terhadap gembong narkoba berstatus terpidana mati babak pertama yang dilaksanakan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak menciptakan kepuasan publik yang luar biasa.
Sebab sebelum eksekusi itu dilaksanakan rencana eksekusi mati terhadap para Gembong narkoba telah digoreng oleh media massa dengan menyajikan berbagai tulisan seputar persiapan eksekusi dan lain sebagainya.
"Selama satu atau dua bulan itu itu menjadi komoditas media online yang pada akhirnya memunculkan persepsi masyarakat terkait kebijakan Presiden Jokowi tersebut. Ada yang menilai kalau kebijakan itu sebagai legacy kepemimpinan Jokowi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai pencitraan Jokowi. Bahkan ada yang menilainya sebagai pengalihan isu kenaikan harga BBM," katanya.
Namun diakuinya, dari konteks penilaian terhadap kinerja, utamanya eksekusi mati yang dikaitkan dengan penegakan hukum, satu lembaga survei pernah melaksanakan survei. Hasilnya penegakan hukum yang dilakukan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dengan mengeksekusi mati narkoba menurut publik lebih baik dibandingkan penegakan hukum dari hasil survei tahun 2014. Tahun lalu hanya 31 persen saja publik yang menyatakan penegakan hukum baik sedangkan tahun ini sebanyak 42 persen.
Sedangkan mengenai langkah pemberantasan narkoba, sebanyak 53.4 persen publik yang menyatakan baik. Namun hasil itu menurut dia tidak luar biasa. Hasil itu biasa saja.