TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 3 September tahun lalu, Jero Wacik baru sekali diperiksa oleh Komisi Pemberintasan Korupsi (KPK). Setelah pemeriksaan 9 Oktober 2014, tidak ada lagi kelanjutan proses hukum Jero Wacik hingga diajukannya praperadilan.
Kuasa Hukum Jero, Hinca Pandjaitan mengatakan tindakan yang dilakukan KPK tersebut merupakan kesewenang-wenangan karena tidak memberikan kepastian hukum terhadap kliennya.
"Bahwa setelah pemeriksaan 9 Oktober 2014 sampai diajukannya praperadilan yang kurang lebih rentang waktunya 7 bulan, perkara belum dilimpahkan kepada penuntutan untuk segera diajukan ke pengadilan," ujar Hinca di PN Jaksel, Senin (20/4/2015).
Menurutnya, lantaran di dalam pasal 40 UU KPK tidak diatur adanya kewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), seharusnya perkara Jero Wacik segera dilimpahkan ke penuntut umum untuk diajukan ke pengadilan.
"Bukannya justru menunda-nunda dan membuat nasib pemohon (Jero Wacik), tanpa adanya kepastian hukum," katanya.
Tidak kunjung ditindaklanjutinya perkara petinggi partai Demokrat tersebut membuktikan bahwa KPK tidak memiliki cukup bukti dalam menetapkan status tersangka.
Dan tindakan yang dilakukan KPK tersebut telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD RI 1945 vide pasal 3 ayat 2 UU HAM, serta ketentuan pasal 50 ayat 2 KUHAP.
"Sehingga cukup dasar alasan bagi hakim untuk menyatakan penetapan tersangka pemohon (Jero Wacik) , tidak sah," pungkasnya.