Laporan Wartawan Tribunnews.com Ruth Vania Christine
"APA saya sedang dieksekusi?", tanya Rodrigo Gularte secara tiba-tiba kepada pembimbing spiritualnya, Charlie Burrows.
"Ya, saya pikir saya sudah jelaskan ini kepadamu," tutur Charlie.
Jawaban dari rohaniwan Irlandia itu segera membuat Gularte terkesiap.
Gularte lalu menyadari, tangan dan kakinya telah terikat rapat pada tiang pancang yang terbuat dari kayu.
Mata Gularte lantas menangkap sederet algojo yang asyik menyiapkan senapan di hadapannya.
"Anda ingin memakai penutup mata?" tanya seorang algojo. Tapi, seperti ketujuh terpidana mati lain yang terikat di tiang pancang, Gularte secara mantab menjawab: "Tidak."
Gularte lantas berkhidmat, menatap barisan algojo, merapal doa, selanjutnya melantunkan bait lagu Amazing Grace:
"T'was Grace that taught...my heart to fear/And Grace, my fears relieved/How precious did that Grace appear.../the hour I first believed." (Ketika insaf, aku cemas/sekarang aku lega! Syukur/bebanku telah lepas/berkat anugerah!)
Tak berselang lama, setelah semua keriuhan peluru yang mendesing, di bawah tenda violet itu, hanya ada keheningan.
***
Satu bait kidung Amazing Grace yang dilantunkannya tersebut, ternyata tak sekadar kiasan bagi Gularte, satu dari 8 terpidana mati yang dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (29/04/2015) dini hari.
Sebab, sejak berumur 16 tahun, ia harus hidup dengan segala kecemasannya yang berlebihan sehingga memengaruhi jiwa dan otaknya.
Rodrigo Muxfeldt Gularte, begitu nama lengkapnya, adalah pengidap penyakit kejiwaan schizofrenia.
Banyak pihak, termasuk Presiden Brasil Dilma Rousseff, yang menyangka karena penyakit itu, hukuman mati bagi Gularte akan dianulir Presiden RI Joko Widodo.