TRIBUNNEWS.COM - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk membuka identitas 83 jurnalis yang diduga menerima suap dari Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Nama mereka disebut dalam dakwaan bekas Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno, yang kini menjadi terdakwa kasus korupsi di kementerian tersebut. Membuka nama-nama mereka ke publik akan memberikan efek jera bagi jurnalis yang diduga menerima suap.
Dalam surat dakwaan Waryono yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis 7 Mei 2015, Jaksa Penuntut Umum KPK menyatakan Waryono pada Desember 2011- Desember 2012, antara lain, memerintahkan anak buahnya memberikan uang kepada 83 jurnalis, dengan total Rp 53,95 juta.
Masing-masing jurnalis mendapat Rp 650 ribu. Uang suap tersebut berasal dari dana ilegal yang dikumpulkan oleh Waryono dan anak buahnya dari Kegiatan Sosialisasi Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral Bahan Bakar Minyak Bersubsidi 2012.
Ketua Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Jakarta, Ahmad Nurhasim, menegaskan, jurnalis yang menerima suap melanggar Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal ini menyatakan setiap wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik. Salah satu kode yang sangat penting, Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik, menyebutkan jurnalis Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran pasal tersebut, yang dimaksud menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Adapun suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi jurnalis.
"Dengan kata lain, jurnalis yang menerima suap telah merusak independensinya dalam memberitakan hal-hal penting bagi publik. Jika kelak terbukti di pengadilan, jurnalis yang menerima suap tersebut telah menabrak UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers," tegas Ahmad Nurhasim dalam keterangan persnya, Jumat malam 8 Mei 2015.
"Kasus ini patut menjadi pelajaran bagi jurnalis untuk menolak segala bentuk benda, fasilitas, atau uang yang diberikan oleh narasumber. Sebab, suap dalam bentuk apapun kepada jurnalis akan mempengaruhi independensi dalam kegiatan jurnalistik," imbuhnya.
Nurhasim menggarisbawahi, suap kepada jurnalis juga mengancam kebebasan pers karena menjadikan jurnalis cenderung tidak independen saat melakukan kegiatan jurnalistik.
Terbongkarnya aliran dana haram dari terdakwa korupsi kepada puluhan jurnalis tersebut telah menunjukkan bahwa suap telah merasuki awak media, yang seharusnya gencar membongkar dan melawan korupsi. Suap seperti ini jelas membahayakan independensi jurnalis dan media.
Karena itu, AJI Jakarta mengingatkan kembali kepada para jurnalis untuk menaati kode etik. Dengan menaati kode etik, jurnalis akan bekerja mengutamakan kepentingan publik, bekerja secara independen dan profesional, dan menghasilkan berita yang benar, akurat, dan bisa dipercaya oleh publik.
Berkaitan dengan terbongkarnya aliran dana haram untuk puluhan jurnalis tersebut, AJI Jakarta menyatakan:
1. Mendesak jaksa KPK dan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk membuka kepada publik daftar 83 nama jurnalis dan medianya yang diduga menerima uang haram dari Kementerian ESDM. Sekaligus mengkonfirmasi aliran dana haram itu, kami juga meminta jaksa dan hakim untuk menghadirkan 83 jurnalis tersebut sebagai saksi di pengadilan.
2. Mendesak semua kementerian dan lembaga negara non-kementerian untuk menghentikan pemberian amplop kepada jurnalis dan menghapus anggaran amplop untuk jurnalis. Sebab, pemberian amplop telah dan akan merusak independensi jurnalis dan media.
3. Menyerukan kepada para jurnalis untuk menegakkan kode etik jurnalistik agar berita-berita yang dihasilkan benar, akurat, dan kredibel. Kami juga mendesak perusahaan media menggaji jurnalisnya dengan upah yang layak agar jurnalis tidak mudah tergoda menerima suap atau amplop dari narasumber.
Untuk reporter yang baru bekerja setahun atau baru diangkat menjadi karyawan tetap di Jakarta, upah layaknya adalah Rp 6,5 juta per bulan.