Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah pemerintah berencana mencampur 15 persen bahan bakar nabati (BBN) untuk per liter solar yang dijual guna menekan konsumsi bahan bakar fosil, dinilai masih kurang ramah lingkungan.
Kordinator Relasi dan Komunikasi Indonesia Sawit Watch (ISW), Ratri Kusumohartono, menjelaskan 15 persen BBN tersebut berasal dari bahan dasar minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
"Biofuel itu program yang dianggap salah, karena pada implementasinya menghasilkan banyak emisi. Kalau pun emisinya lebih rendah dari bahan fosil," kata Ratri di Bakkoel Koffiee, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (10/5/2015).
Di negara-negara Eropa, biofuel berbahan dasar minyak sawit sudah tidak dianggap ramah lingkungan. Mereka menganggap lahan sawit memberi banyak dampak negatif terhadap lingkungan. Mulai dari penurunan unsur hara tanah, pelepasan gas rumah kaca (GKR), sampai memicu konflik dengan masyarakat.
ISW mencatat hingga tahun 2014 total luas perkebunan sawit di lahan gambut telah mencapai lebih dari 11,5 juta hektar. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan pada 2014 mencapai 747,5 juta ton CO2.
Bahan bakar terbarukan yang ideal menurut ISW bukan lah BBN berbahan dasar minyak Sawit. Salah satu bahan bakar terbarukan yang ideal adalah pemanfaatan sinar matahari yang bermodalkan panel surya.
Pencampuran 15 persen biofuel akan diberlakukan 1 Juli mendatang. Pendanaan untuk kebijakan ini diambil, salah satunya, dari CPO Support Funding, yakni pengutipan 50 dolar Amerika untuk minyak sawit mentah, dan 30 dolar AS untuk produk turunannya.