TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengajuan Amnesti oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar merupakan salah satu bagian dari hak asasi yang dimilikinya. Hal ini diungkapkan oleh politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboebakar Alhabsy, Rabu (13/5/2015).
"Oleh karenanya kita hormati saja proses tersebut. Sampai saat ini saya belum melihat berkas pengajuan permohonan tersebut di DPR. Bila memang pengajuan nanti sudah masuk, pasti akan kita bahas diinternal. Pengajuan yang demikian memang cukup langka, namun pasti kita proses sebagaimana mestinya," ungkap Aboe.
Sebelumnya, kuasa hukum Antasari Azhar, Boyamin Saiman memastikan mengajukan rekomendasi amnesti kepada DPR. Alasan diajukan grasi adalah dugaan rekayasa dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan Antasari. Hal lainnya, Antasari Azhar telah berjasa kepada negara sebagai ketua KPK dan jaksa karier tanpa cacat. "Semoga presiden berkenan memberikan grasi kepada Antasari Azhar.”
Aboebakar menjelaskan, pemberian amnesti merupakan kewenangan presiden, namun harus melibatkan DPR. Jadi, katanya, pengajuannya sebenarnya ke Presiden, kemudian dilanjutkan ke DPR. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, dimana abolisi yang diberikan harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Aturan ini memang berbeda dengan konstruksi UUD 1945 sebelum amandemen. Dimana Amnesti merupakan hak perogratif presiden secara absolut.
"Bila nanti amnesti ini dikabulkan, tentunya Antasari Azhar akan terbebas dari akibat tindak pidana yang sudah divoniskan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyebutkan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan," Aboebakar menegaskan.