TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih berkutat pada agenda mencari titik keseimbangan politik. Hal itu menurut Pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto, yang dilakukan Jokowi hingga masa pemerintahan Jokowi sekarang ini.
"Jokowi menurut saya masih berada di agenda mencari titik keseimbangan politik. Sehingga dia mengalami pelambatan dalam konteks kerja-kerja yang aturannya bisa dirasakan oleh publik," ungkap Gun Gun ketika berbincang-bincang dengan TribunNews.com, usai seminar nasional fraksi Demokrat di MPR RI di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (28/5/2015).
Masih menurut Gun Gun, agenda mencari titik keseimbangan politik hingga saat ini masih menyita banyak perhatian Jokowi. Contohnya, bagaimana Jokowi mengelola partai-partai politik mitra koalisi pemerintahannya.
"Contoh yang paling berat adalah pada saat dia harus membangun relasi kuasa dengan Megawati (Ketua umum PDIP). Ini kan dalam banyak hal ini memang bukan membebani. Tapi, mengalihkan perhatian Jokowi pada agenda yang lebih besar yakni Public interest," jelasnya.
Karena itu dia melihat menilai tidak ada hal mengesankan (impresi) selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Khususnya sangat terlihat di penegakan hukum untuk kasus-kasus korupsi.
"Saya melihat enam bulan pemerintahan Jokowi kita sebut tidak memiliki impresi. Tidak mengesankan. Karena beberapa hal. Misalnya, soal pola penegakan hukum di wilayah korupsi. Seperti KPK," ungkap Gun Gun.
Selain itu, dalam konteks ekonomi, terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 sebesar 4,71 persen. Angka ini turun 0,5 persen dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,21 persen.
"Kemudian di banyak hal, seperti kapasitas kelembagaan juga belum membaik. Seperti di institusi Polri. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bagi Jokowi. Karena enam bulan pemerintahannya, yang harusnya bisa dia bisa mengkapitalisasi modal sosial, yang bernama Public trust, itu belum bisa diartikulasikan hingga saat ini," jelas Pengamat dari UIN Syarif Hidayatullah ini.