News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Korupsi Kondensat

Sri Mulyani Sebut JK Pimpin Penyelamatan PT TPPI yang 'Sakit'

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Gusti Sawabi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Managing Director and Chief Operating Officer World Bank sekaligus mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) didampingi Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan Indra Surya (kanan) dan Kepala Bagian Bantuan Hukum I Kementerian Keuangan Didik Hariyanto (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (8/6/2015). Sebelumnya Sri Mulyani diperiksa oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penjualan kondensat oleh SKK Migas dan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sri Mulyani mengaku sewaktu menjadi Menteri Keuangan pada 2009, menerbitkan surat tata cara pembayaran yang harus dilaksanakan PT Trans-Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) atas penjualan kondensat dari SKK Migas (sebelumnya; BP Migas) karena pertimbangan beberapa surat rekomendasi dan pertemuan.

Salah satu pertemuan itu adalah rapat penyelamatan terhadap PT TPPI yang kondisi keuangannya tengah 'sakit' dipimpin oleh Wakil Presiden pada 2008, Jusuf Kalla.

Hal itu disampaikan Sri Mulyani usai diperiksa penyidik Bareskrim Polri sebagai saksi kasus korupsi kondensat di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Senin (8/6/2015) malam.

Ia menceritakan, ada dua sesi rapat yang dipimpin oleh JK pada 21 Mei 2008.

Sesi pertama yang dihadiri oleh Sri Mulyani dan JK membahas tentang Petrokimia Tuban. Sementara, saat sesi kedua rapat membahas tentang penyelamatan PT TPPI. Saat itu, Sri Mulyani mengaku tidak hadir.

"Di dalam pembahasan yang saya nggak hadir, dilakukan pembahasan soal menyelamatkan PT TPPI dengan menunjuk PT Pertamina memberikan kondensat ke PT TPPI," kata Sri Mulyani.

Menurut Sri Mulyani, dirinya selaku Menkeu saat itu menerbitkan surat Nomor 85/MK/02/2009 tentang tata laksana atau cara pembayaran kondensat yang dikelola oleh BP Migas (sekarang; SKK Migas) untuk diolah PT TPPI.

Ia mengaku harus membuatkan peraturan tata cara pembayaran atau transaksi penjualan kondensat yang harus dilakukan oleh PT TPPI mengingat saham atau aset ketiga perusahaan yang terlibat dalam transaksi jual beli kondensat negara dan hasil olahannya itu adalah milik pemerintah.

SKK Migas dan PT Pertamina di bawah pemerintah. Sementara, sebagian besar saham PT TPPI pun milik pemerintah.

Sri Mulyani mengaku menerbitkan surat tata cara pembayaran kondensat negara itu semata untuk menjaga kepentingan keuangan negara.

"Di mana kewajiban atas kondensat yang dimiliki pemerintah harus dibayar lunas. Kedua, pengadaan BBM dalam negeri dilakukan melalui tata kelola yang diatur dalam undang-undang. Ketiga, agar aset negara bisa dimaksimalkan. Dalam hal ini termasuk terhadap PT TPPI yang sebagian besar dimiliki oleh negara," kata Sri Mulyani yang kini menjadi petinggi Bank Dunia itu.

Terlepas dari pengakuan Sri Mulyani itu, pihak Bareskrim Polri telah menemukan alat bukti adanya tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atas penjualan kondensat negara dari SKK Migas ke PT TPPI sepanjang 2009-2011.

Dugaan korupsi terjadi karena pihak SKK Migas memilih PT TPPI sebagai perusahaan yang menjual kondensat negara tanpa adanya proses lelang alias penunjukan langsung dan tanpa adanya kontrak kerjasama, termasuk tata cara pembayaran yang jelas.

Potensi kerugian negara mencapai sekitar 156 juta Dollar AS atau Rp 2 triliun. Sebab, PT TPPI tidak menjual produk olahan kondensat negara yang berasal dari SKK Migas ke pihak PT Pertamina.

Perusahaan tersebut justru menjual produk olahan kondensat itu ke perusahaan swasta dalam dan luar negeri. Hasil penjualannya pun tidak disetorkan ke negara dan belum diketahui pihak-pihak yang menikmatinya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini