Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Komisi Pemilihan Umum (KPU), banyak menerima pertanyaan dari KPU daerah soal soal tafsir definisi petahana, seperti yang tercantum dalam Surat Edaran tertanggal 12 Juni 2015. Definisi tersebut belakangan banyak dipertanyakan, karena memicu pengunduran sejumlah kepala daerah.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Husni Kamil Manik, menerangkan bahwa petahana dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), adalah kepala daerah yang masih menjabat.
Bila sang kepala daerah mengundurkan diri sehari sebelum pembukaan pendaftaran calon kepala daerah, maka pada hari pendaftaran ia tidak bisa disebut sebagai petahana.
"Petahana itu adalah sedang menjabat, walupun dia berhenti (pada) 25 Juli dan pendafatran (Kepala daerah pada) 26 Juli, dia tidak petahana lagi," kata Husni kepada wartawan usai ia menghadiri buka puasa di kediaman Ketua MPR, Zulkifli Hasan, di komplek Widya Chandra, Jakarta Selatan, Senin (22/6/2015).
Permasalahan petahana itu muncul karena sejumlah kepala daerah mengundurkan diri sebelum dibukanya pendaftaran calon kepala daerah, dan kerabat mereka diketahui berencana mendaftarkan diri sebagai kepala daerah.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Menteri Dalam Negri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menduga kepala daerah yang mengundurkan diri itu berencana mensiasati Undang-undang (UU) nomor 8 tahun 2015, tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Dalam UU tersebut diatur bahwa peserta tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Terkait siasat para kepala daerah yang mengundurkan diri itu, Husni berharap Tjahjo dapat mempertimbangkan baik-baik surat pengajuan pengunduran diri kepala daerah tersebut. KPU menurutnya sudah mengirimkan surat, yang berisi usulan agar Pilkada dapat berlangsung dengan adil.
"Tanya pemerintah ya. kalau usulan berbagai pihak ya wajar-wajar saja, termasuk KPU mengusulkan supaya fair (adil), kami usulkan diproses sesuai kewenangan Pemerintah," tandasnya.