Dalam buku sejarah yang ngibul, setengah ngibul, maupun tak ngibul, PKI dan segala macam peristiwa yang mengiringinya tetap bukan kenangan indah. Ada banyak sekali korban yang sangat boleh jadi mengalami trauma sampai sekarang. Tapi haruskah terus-menerus menjual PKI di luar negeri?
Mengabarkan tentu tidak salah. Mengingatkan pastinya bukan hal yang keliru. Akan tetapi, janganlah sampai melakukan pemaksaan.
Tapi katakanlah hal pemaksaan ini bisa diperdebatkan, bisa digugat, bahwa PKI, komunisme, silang sengkarut peristiwa 1965 dan hantaman psikologis yang dialami korban-korbannya merupakan repsentasi dari 17.000 Island of Imagination.
Katakanlah demikian. Tapi justru dari sinilah persoalan kedua mengemuka. Kontingen Indonesia memajukan "Pulang" dan "Amba". Atas dasar apa?
"Pulang" mungkin masih logis lantaran buku ini terpilih sebagai buku terbaik dalam Khatulistiwa Literary Award--meski disambut dengan "ribut-ribut" lantaran dianggap kurang pantas dibanding buku-buku lain yang dinominasikan.
Tapi "Amba", apa keunggulannya? Kenapa buku ini yang terpilih sebagai unggulan dan bukan karya lain?
Dalam satu artikel yang mengupas perihal FBF 2015, keduanya, buku maupun penulisnya, disebut sebagai semacam penguak tabu.
Sebutan ini memunculkan keriuhan yang lebih kencang. Para penulis di negeri ini menilai hal itu sebagai sebuah kejahatan sejarah.
Seolah-olah sebelum "Pulang" dan "Amba" tidak ada satu pun karya sastra yang berani mengupas kekelaman tersebut dari sisi yang lain. Padahal banyak sekali.
Begitulah, ternyata, upaya untuk memencengkan sejarah masih terus terjadi. Meski kali ini tujuannya "cemen", sekadar gengsi kelompok. (*)
Penulis: T. Agus Khaidir/Jurnalis cum Cerpenis
Twitter: @aguskhaidir