News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Diperiksa Penyidik, Kuasa Hukum Sebut Made Meregawa tidak Menilep Uang Proyek Alkes

Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan Universitas Udayana sekaligus pejabat pembuat komitmen dalam proyek pengadaan alat kesehatan, Made Meregawa (baju tahanan orange), usai diperiksa penyidik KPK, di Jakarta Selatan, Jumat (31/7/2015). Made menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi Alat Kesehatan (Alkes) Rumah Sakit Khusus untuk Pendidikan Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana, Bali. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan Universitas Udayana, Made Meregawa harus menjawab cecaran penyidik KPK sebanyak 54 pertanyaan dalam pemeriksaan perdananya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan rumah sakit khusus untuk pendidikan Universitas Udayana.

Kuasa hukum Made, Nyoman Sukandia, yang mendampinginya saat diperika KPK menyebutkan kliennya ditanyai terkait posisi dan jabatan dia di kampus Udayana.

"Kemudian menyangkut juga tata cata pengguna anggaran pemerintah," kata Nyoman kepada Tribunnews.com di KPK, Jakarta, Jumat (31/7/2015).

Menurut Nyoman, Made sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) tidak membuat kesalahan atau menilep uang proyek tersebut.

Dijelaskan Nyoman, Universitas Udayana sebenarnya mendapatkan sumbangan dari APBN sebesar Rp 73 miliar. Rp 55 miliar untuk membangun fisik rumah sakit dan Rp 18 miliar untuk pengadaan alat kesehatan. Menurut Nyoman, dalam proyek tersebut yang kemudian menjadi masalah mengenai pengadaan alat kesehatan.

Nyoman mengatakan ketidaksetujuannya soal analisi dari Badan Pemeriksaan Keuangan bahwa pengadaan alkes tersebut kemalahan. Pasalnya, dari enam peserta tender, semuanya menawarkan angka Rp 18 miliar, termasuk perusahaan pelat merah PT Kimia Farma.

Akan tetapi, dari peserta lelang ternyata PT Mahkota Negara mampu menawarkan kemurahan Rp 7 sampai Rp 8 juta. Secara prosedur, perusahaan yang paling murah adalah pemenang tender.

"Belakangna mungkin diketahui lalau PT Mahkota Negara berbau Nazaruddin dan Mindo Rosalina. BPK turun tangan melihat bau itu kemudian melakukan penilaian dan kesimpulan kemahalan Rp 5 miliar," beber Nyoman.

Nyoman mengatakan hasil audit BPK tersebut tidak bisa ditimpakan kepada Made lantaran dalam tender semua proses telah dijalankan. Lagi pula, pada saat tender dijalankan Udayana mendapatkan pendamping dari inspektorat.

"Apanya yang aneh? Oleh karena ada unsur Nazaruddin maka jadi aneh," ungkap Nyoman.

Nyoman mengatakan dugaan kerugian negara yang mencapai Rp 7 miliar akibat persekongkolan Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang dengan Made tidak benar. Alasannya, Made tidak mengenal Marisi dan waktu PT Mahkota menang, tidak diketahui ada Nazaruddin dalam kepemilikan perusahaan.

"Ndak tahu siapa-siapa kok. Sesuai pengakuan dia ndak tahu siapa (Marisi). Ndak mengenal," ujar Nyoman.

KPK menetapkan Made bersama Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang (MRS) sebagai tersangka kasus pengadaan alat kesehatan rumah sakit khusus untuk pendidikan tahun anggaran tahun 2009 Universitas Udayana, Bali senilai Rp 16 miliar.

Keduanya diduga melakukan penggelembungan atau pemufakatan rekayasa dalam proses pengadaan alat kesehatan khusus penyakit infeksi dan pariwisata di Universitas Udayana. Akibat ulah kedua orang tersebut, negara ditaksir menderita kerugian sekitar Rp 7 miliar.

Penetapan tersangka keduanya merupakan pengembangan kasus pengadaan alat kesehatan di beberapa rumah sakit yang terdahulu. Marisi pernah diperiksa sebagai saksi untuk M Nazaruddin dalam perkara dugaan korupsi proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Jawa Barat. (Eri Komar Sinaga)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini