Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai polisi dan jaksa aktif tidak perlu ikut seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Nanti KPK bisa jadi conflict of interest. Menurut saya polisi dan jaksa aktif kalau bisa tidak usah. Kalau yang pensiunan boleh," kata Agustinus dalam diskusi 'Komposisi Pimpinan KPK Ideal' di Warung Daun, Jakarta, Minggu (2/8/2015).
Ia khawatir bila polisi aktif menjadi pimpinan KPK. Ia mencontohkan bila pimpinan KPK yang terpilih berasal dari polisi berpangkat komisaris besar, harus bekerjasama dengan Bareskrim yang dijabat jenderal bintang tiga. Pohan menilai bedanya status ini akan menjadi persoalan di kemudian hari.
Pohan juga menganggap ada ketidakadilan bila jatah pimpinan KPK harus diwakili unsur kepolisian dan kejaksaan. Sebab, hal itu memangkas jatah calon lainnya dari empat menjadi dua kursi.
"Kalau ini (unsur keterwakilan polisi dan jaksa) disampaikan sejak awal, barangkali proses seleksinya lain lagi. Pansel akan mendorong 100 polisi dan jaksa untuk diseleksi," ungkap dia.
Sementara peniliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengungkapkan pimpinan KPK harus memiliki informasi yang cukup serta kemampuan managerial yang baik.
"Kemampuan pimpinan KPK dalam mengelola isu-isu. KPK harus ditakuti. Kalau KPK tidak ditakuti malah salah, karena ia lahir untuk ditakuti. Seharusnya, yang ditekankan supervisi, bukan keterwakilan institusi," ujar Vitri.