TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggunaan nuklir sebagai sumber energi nasional merupakan langkah akhir.
Mantan anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim menilai sampai tahun 2100, Indonesia tidak butuh nuklir.
Hal itu berdasarkan hasil kajiannya dan beberapa kolega dari asosiasi internasional, apa yang diperlihatkan oleh model neraca suplai-konsumsi yang dibuatnya menyimpulkan pandangannya. Dari hitung-hitungan neraca tersebut, diketahui sampai 2100, Indonesia tidak butuh nuklir.
"Sebab, kita masih ada batubara, gas, dan renewable energy. Ini hitungan rasional dan bisa dipertanggung-jawabkan," kata Herman dalam seminar "Mengungkap Ketertutupan Rencana Pembangunan PLTN di Indonesia" di kampus Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, Kamis (13/8/2015).
Kesimpulan tersebut juga diambilnya dengan mempertimbangkan tiga aspek penting, yakni security, environment, dan economy.
Karena itu menurutnya, lebih prioritas, jika pemerintah fokus pada pengembangan (riset) energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Untuk memperkuat argumennya, ia mencontohkan Jepang ketika terjadi peristiwa di Fukushima. Dari sisi security, Indonesia belum mampu menghadapi tekanan dan dinamika global, misalnya ancaman embargo.
Dari sisi economy, apabila terjadi kecelakaan, dari sisi manajemen risiko akan berpotensi membuat bangkrut suatu negara.
"Jepang ketika Fukushima menderita kerugian sekitar 5 ribu triliun," tegasnya, dalam keterangannya, Kamis (13/8/2015).
Herman mengatakan dirinya tidak menolak nuklir sebagai energi. Namun, ingin mengajak semua pihak rasional dan berhati-hati memutuskan suatu kebijakan yang akan berdampak pada keseluruhan rakyat Indonesia.
"Sejak kejadian Fukushima, level kesukaan saya terhadap PLTN menjadi nol. Terus terang saya tidak menolak PLTN, tetapi jujur saya tidak mendukung PLTN jika diterapkan," paparnya.
Sementara itu, pakar nuklir eksperimental, Iwan Kurniawan mengkritik keras wacana pembangunan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) yang akan dibangun di wilayah Serpong.
Seperti diketahui, persetujuan pembangunan RDE akan dikerjakan oleh kontraktor konsorsium Jerman-Indonesia yang pembiayaannya oleh pemerintah Indonesia sekitar Rp 1,6 triliun.
Argumen Iwan dilandasi fakta bahwa Rusia hanya mempunyai desain RDE yang tidak pernah mereka bangun di negaranya sendiri.
"Seakan-akan Indonesia hanya menjadi "kelinci percobaan" ilmuwan Rusia," tandasnya.
Menurutnya, di dunia, hanya RRT dengan HTR-10 yang terbukti telah membangun. Rusia melalui Rosatomm yang mempunyai saham di Nukem Jerman hanya punya desain dan tidak pernah membangun RDE itu sendiri.
"Sekali lagi, ini sama saja Indonesia dijadikan kelinci percobaan, dan jika terjadi apa-apa, siapa yang bertanggung jawab?" tanyanya.
Menurut Herman, energi nuklir merupakan fasilitas dengan tingkat keamanan tinggi. Karenanya akan sangat berbahaya Indonesia tidak punya rencana yang jelas dan terukur atas pembangunan dan penggunaan energi nuklir karena dampak negatif yang mungkin ditimbulkan akibat penggunaan nuklir sangat luar biasa.
Menurutnya, Indonesia tidak punya arah yang jelas. Rencana BATAN ingin membangun PLTN mini di wilayah terpencil dianggapnya irasional. Ketidakjelasan arah ini, katanya, sama saja kita membuat bom atom di beberapa wilayah.
"Kesimpulan saya, RDE itu dirty bomb," terangnya.
Karena itu Iwan berharap Presiden Jokowi bersedia menjadi pemrakarsa agar semua pihak yang berkepentingan bisa duduk bersama dan terbuka membahas isu PLTN di Indonesia.
Menurutnya, persepsi pro dan kontra baiknya ditiadakan, karena esensinya adalah ilmiah.
Peneliti: Sampai Tahun 2100 Indonesia tidak Butuh Nuklir
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger