TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gugatan praperadilan bisa diajukan PT Victoria Securities Indonesia menyusul penggeledahan oleh Kejaksaan Agung yang diduga salah alamat.
"Kalau salah begitu, dapat menyebabkan banyak hal. Dan itu seharusnya bisa mengajukan permohonon pra-peradilan, (karena) dia salah sasaran," ujar Pakar Hukum Pidana Abdul Fikar Hajar dalam pernyataannya, Kamis(20/8/2015).
Menurut Abdul Fikar, apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sudah melampaui kewenangan penegak hukum lainnya.
Padahal, selaku penegak hukum Kejaksaan Agung harus terlebih dulu koordinasi.
"Karena menjadi kontrol begi penegak hukum," ujar Abdul Fikar.
Dia pun mengkritisi sikap yang ditunjukkan oleh Kejaksaan Agung dalam melakukan penggeledahan terhadap Kantor Victoria Securities Indonesia.
Padahal, kata Abdul Fiakr berdasarkan pemberitaan yang berkembang, Kejaksaan Agung salah tempat dalam melakukan penggeledahan itu.
"Itu sudah jelas putusan MK, kalau ada yang dirugikan dalam tindakan lembaga hukum bisa dibawa diuji saja di praperadilan. Itu artinya, izin pengadilan salah digunakan (oleh Kejagung). Artinya tak ada kepastian hukum, nama perusahaan benar, tapi salah menggeledah,"ujarnya.
Untuk diketahui, pihak PT Victoria Securities Indonesia mengadukan penyidik Kejaksaan Agung yang dipimpin Sarjono Turin ke DPR.
Pengaduan dilakukan menyusul dugaan salah geledah yang dilakukan Tim Satuan Tugas Khusus terkait kasus pembelian aset BTN melalui BPPN.
Namun belakangan pihak Kejaksaan Agung menanggapi tudingan salah geledah tersebut sudah sesuai prosedur.
Bahkan korps adhyaksa menilai pihak Victoria Securities Indonesia berbohong dengan menyebut bahwa penggeledahan yang dilakukan Tim Satuan Tugas Khusus salah alamat.
Perkara ini bermula saat sebuah perusahaan bernama PT Adistra Utama meminjam Rp 469 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990.
Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang PT AU. PT Victoria Sekuritas Indonesia membeli aset itu dengan harga Rp 26 miliar.
Seiring waktu, PT AU ingin menebus aset tersebut dengan nilai Rp 26 miliar. Tapi, PT VSI menyodorkan nilai Rp 2,1 triliun atas aset itu.
Tahun 2012, PT AU kemudian melaporkan PT VSI ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset itu. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.