TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggeledahan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung di kantor PT Victoria Securities Indonesia dipertanyakan.
Sebab, penggeledahan terkait kasus Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sudah lama, tahun 2002-2003 silam.
“Ini kan kasus lama, kasus BPPN yang sudah dari tahun 2002, 2003. Ini kenapa diangkat baru sekarang? Kenapa diangkat sekarang? Seperti membuka kontak pandora,” ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon usai menghadiri pertemuan dengan Jaksa Agung HM Prasetyo di Komplek Parlemen, Senayan, Jumat (21/8/2015).
Menurut Fadli, pertemuan dengan Jaksa Agung dilakukan agar DPR mendapatkan klarifikasi secara utuh.
“Jadi pertemuan itu, kita kan ingin mendapatkan klarifikasi, kita sampaikan kepada pihak Kejaksaan Agung, kita ini menerima laporan dari masyarakat setiap hari itu banyak. Padahal presiden mengatakan pada waktu di istana Bogor, kita ingin ada suatu iklim yang kondusif lah bagi suatu dunia usaha,” kata Fadli.
Politisi Partai Gerindra ini juga meminta agar Kejaksaan Agung tidak membuat gaduh dunia usaha.
Korps Adhyaksa lanjut Fadli harus berusaha membuat iklim usaha tetap kondusif.
“Jangan membuat ‘message’ yang salah bagi dunia usaha. Tidak ada kepastian hukum, tidak ada suatu iklim yang kondusif bagi dunia usaha di Indonesia,” tambahnya.
Untuk diketahui, pihak PT Victoria Securities Indonesia mengadukan penyidik Kejaksaan Agung yang dipimpin Sarjono Turin ke DPR.
Pengaduan dilakukan menyusul dugaan salah geledah yang dilakukan Tim Satuan Tugas Khusus terkait kasus pembelian aset BTN melalui BPPN.
Namun belakangan pihak Kejaksaan Agung menanggapi tudingan salah geledah tersebut sudah sesuai prosedur.
Bahkan korps adhyaksa menilai pihak Victoria Securities Indonesia berbohong dengan menyebut bahwa penggeledahan yang dilakukan Tim Satuan Tugas Khusus salah alamat.
Perkara ini bermula saat sebuah perusahaan bernama PT Adistra Utama meminjam Rp 469 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990.
Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang PT AU. PT Victoria Sekuritas Indonesia membeli aset itu dengan harga Rp 26 miliar.
Seiring waktu, PT AU ingin menebus aset tersebut dengan nilai Rp 26 miliar. Tapi, PT VSI menyodorkan nilai Rp 2,1 triliun atas aset itu.
Tahun 2012, PT AU kemudian melaporkan PT VSI ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset itu. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.