Dalam praktik, jika ada pejabat yang berkunjung ke sebuah negara, pihak kedutaan atau konsul jenderal selalu berkomunikasi dan berkonsultasi dengan pejabat bersangkutan menyangkut agenda dan dengan siapa akan bertemu. Sebab, kunjungan tersebut menyangkut simbol negara dan harkat/martabat bangsa di luar negeri. Namun, untuk kasus tertentu, adakalanya pejabat meminta waktu khusus untuk tidak diatur. Saya yakin, kunjungan Novanto ke Donald Trump di luar agenda kedutaan atau konsul jenderal kita di sana. Sebab, jika mereka tahu, pastilah mereka tidak merekomendasi pimpinan dan anggota DPR RI kita itu untuk menghadiri acara kampanye Donald Trump tersebut. Kedutaan Besar RI dan Konsulat Jenderal RI kita memiliki pengetahuan tentang sensitivitas politik.
Urusan politik atau bisnis?
Yang patut ditelusuri dengan cermat, mengapa di antara sekian banyak anggota rombongan, hanya beberapa orang yang bertemu Donald Trump. Apakah anggota rombongan lain sudah diberi tahu atau sengaja tidak diberi tahu? Biarlah kelak ini menjadi agenda khusus Mahkamah Kehormatan Dewan.
Mahkamah juga perlu menggeledah, sejauh mana keterlibatan kedutaan atau konsulat jenderal kita di New York dalam hal kehadiran Novanto dan kawan-kawandalam acara kampanye Trump tersebut. Kalau memang kehadiran dan kunjungan Novanto dan kawan-kawan ke Donald Trump tidak ada kaitannya dengan politik, urusannya adalah urusan bisnis.
Trump adalah pebisnis andal AS. Hary Tanoesoedibjo—sosok di balik pertemuan itu—yang merambah jalan sebelum kunjungan Novanto, juga pebisnis dalam berbagai iklim di Tanah Air. Dan, sebagaimana kita pahami, Novanto juga pebisnis ulung dalam segala cuaca dengan jenis bisnis segala hal. Nah, yang satu ini sangat logis dan tak perlu lagi mencari-cari alibi untuk membenarkan atau menolaknya. Inilah yang disebut hubungan B to B alias bisnis dengan bisnis.
Hamid Awaluddin
Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Pimpinan DPR di Arena Trump".