"Adanya paradigma PNBP hanya dipakai untuk membiayai kegiatan kementerian atau lembaga terkait, bukan menunjang penerimaan negara. Jadi dari sisi pemungutan dan pemanfaatan belum tepat," imbuhnya.
"Apalagi ditambah perencanaan dan pengawasan yang belum bagus. PNBP kejaksaan kan berarti terkait eksekusi putusan hakim, termasuk perampasan aset pelaku kejahatan. Namun baik perencanaan, transparansi serta akuntabilitas kejaksaan era Jokowi saat ini sangat kurang," tuturnya.
Seharusnya, kata Yustinus, Jaksa Agung HM Prasetyo meniru apa yang dilakukan Mantan Jaksa Agung Basrief Arief yang mampu mengoptimalkan PNBP melalui eksekusi pidana denda Asian Agri Rp 2,5 triliun di tahun 2014.
"Uang triliunan tersebut sudah masuk kas negara. Prestasi kejaksaan saat itu meningkat tajam. Jika semester I tahun ini hanya Rp 41 miliar, wah itu kecil sekali. Butuh keseriusan dan perbaikan administrasi," tuturnya.
Perbaikan administrasi yang dimaksud Yustinus adalah mencakup kompetensi dan integritas sumber daya manusia pimpinannya.
"Faktor minimnya PNBP yang disetor ke kas negara oleh Kejaksaan, salah satunya perencanaan yang sangat buruk, lalu integritas pegawai, ketiga keengganan memungut dan mengeksekusi kasus besar yang sensitif," ungkapnya.
Ia menyarankan, kondisi ketidakmampuan kejaksaan ini, sebaiknya perencanaan PNBP segera diintegrasikan di Kemenkeu sehingga pengawasannya multipihak.