TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menyebut revolusi mental yang digaungkan pemerintahan Joko Widodo sebagai program yang gagal total.
"Kalau ada yang mengatakan revolusi mental sebagai suatu program yang nyata, maka dengan berat hati harus jujur saya katakan bahwa revolusi mental adalah program yang gagal total dilaksanakan oleh pemerintah dan partai-partai pendukungnya dalam satu tahun masa pemerintahan ini," ujar Said kepada Tribun, Jumat (6/11/2015).
Kegagalan itu dapat dibuktikan pdalam banyak hal, seperti dalam bidang hukum mental korupsi ternyata masih begitu kuat mengakar di lingkungan partai-partai pendukung pemerintah.
"Publik menyaksikan begitu banyak kader partai pendukung pemerintah yang terjerat dalam kasus korupsi, serta kasus-kasus hukum lainnya," kata Sadi.
Lanjut dia, ketika Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani ditunjuk Presiden sebagai pemegang kendali implementasi program revolusi mental justru lupa merevolusi mentalnya sendiri.
Dikatakannya, Puan melakukan praktik rangkap jabatan sebagai Menteri sekaligus sebagai Anggota DPR yang jelas-jelas dilarang oleh undang-undang.
"Jadi menurut saya, omong kosong-lah revolusi mental itu. Secara gagasan memang bagus sekali. Tetapi ketika diukur dalam implementasinya, maka harus saya katakan revolusi mental tidak lebih dari sekedar jargon belaka," tegasnya.
Lebih lanjut dia katakan, semakin gencar iklan revolusi mental ditayangkan di berbagai media, khsusunya di televisi, dan digembar-gemborkan melalui website pemerintah yang bermasalah, maka hal itu hanya akan membuang-buang uang rakyat dan membuat publik semakin muak dengan pemerintahan sekarang.
Menurutnya, revolusi mental harus dipandang sebagai program kolektif pemerintah dan partai-partai pengusungnya.
Program itu merupakan hasil rumusan bersama antara Jokowi-JK dengan partai-partai pendukungnya yang dituangkan di dalam visi, misi, dan program Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, revolusi mental harusnya menjadi tanggung jawab bersama bagi pemerintah dan partai-partai pendukungnya.
Pendeknya, dalam implementasi program revolusi mental, bagi pemerintah dan partai-partai pendukungnya berlaku peribahasa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Apabila program tersebut berhasil, maka itu menjadi prestasi bagi pemerintah, sekaligus menjadi prestasi bagi partai-partai pendukungnya.
Sebaliknya, jika program itu gagal, maka partai-partai pendukung pemerintah harus turut bertanggungjwab atas kegagalan pemerintah melaksanakan program revolusi mental.
Jadi, agar program revolusi mental bisa berhasil, harus terbangun sinergi antara pemerintah dengan partai-partai pendukungnya. Wujud dari sinergi tersebut adalah tumbuhnya kesadaran untuk saling mengoreksi diantara mereka.
Kalau dalam penyelenggaraan pemerintahan dipandang ada hal yang bertentangan dengan konsep revolusi mental, maka partai-partai pendukung tentu wajib mengingatkan pemerintah.
Sebaliknya, jika pengurus dan kader partai tidak mempraktikkan semangat revolusi mental, maka Presiden perlu menegurnya.
"Disinilah esensi dari kolektifitas dan sinergitas antara pemerintah dan partai-partai pendukungnya dalam merealisasikan program revolusi mental," tandasnya.