TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI), Dio Ashar Wicaksana menilai adanya Rancangan Undang-undang (RUU) Contempt of Court yang diusulkan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Meskipun awalnya dibentuk dengan adanya semangat melindungi peradilan dari proses intervensi, namun adanya RUU ini, menurutnya berpotensi buruk bagi masyarakat umum.
Oleh karena itu, MaPPI mencatat beberapa poin perihal adanya RUU tersebut.
Pertama, kata Dio, terlepas dari ketidakjelasan ruang lingkup pengaturan Undang-undang Contempt of Court, adanya RUU ini berpotensi akan adanya tumpang tindih luar biasa antara ketentuan dalam undang-undang Contempt of Court dengan ketentuan dalam undang-undang lain, dalam contoh ini adalah KUHP.
"Padahal, pengaturan perlindungan terhadap integritas pengadilan tidak hanya diakomodasi oleh KUHP saja, namun tersebar secara sporadis dalam berbagai undang-undang lainnya. Jika dikaitkan dengan larangan pers memberikan keterangan yang merusak integritas hakim atau pengadilan, menurut Dio, maka dapat digunakan pengaturan dalam Kode Etik Pers," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (7/12/2015).
Selain itu, kata Dio, perlindungan hakim saat ini juga sudah mulai diatur tersendiri didalam RUU Jabatan Hakim. Sehingga, adanya undang-undang Contempt of Court justru akan mengacaukan sistem perundang-undangan yang ada.
Kedua, prinsip pengadilan adalah terbuka untuk umum. Menurutnya, esensi peradilan terbuka untuk masyarakat, agar tidak ada jurang antara masyarakat dan pengadilan.
Sehingga masyarakat bisa melihat proses peradilan, dan mencegah adanya proses yang tidak adil. Bahkan masyarakat bisa memberikan penilaian dan masukan jika menemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim.
Ketiga, lanjut dia, adanya ketentuan pidana di RUU ini berpotensi mengurangi akuntabilitas peradilan terhadap publik.
Pasalnya nantinya masyarakat akan takut memberikan masukan karena khawatir akan dipidana.
"Seperti pendapat dari Robert Klitgaard, dimana dia menyebutkan satu formula “C=M+D-A” yang artinya korupsi ( C) akan terjadi jika monopoli (M) kekuasaan ditambah diskresi (D) yang kuat tanpa diimbangi akuntabilitas (A). Padahal peran publik untuk mengawasi kinerja peradilan sangatlah dibutuhkan," ujarnya.
Lagipula, tidak jarang masukan publik berperan penting bagi perbaikan lembaga maupun aparat peradilan. Seperti contoh temuan masyarakat terhadap pelanggaran kode etik Hakim menjadi sarana MA ataupun Komisi Yudisial (KY) untuk menindaklanjuti perbaikan terhadap perilaku hakim.
"Selain itu, survei keterbukaan informasi peradilan yang dilakukan oleh MaPPI (2013) menjadi rekomendasi bagi MA untuk memperbaiki kualitas pelayanannya ke depan," ujarnya.
Keempat, terang Dio, RUU CoC tersebut berpotensi memunculkan adanya kriminalisasi baru. Menurutnya dalam konteks ini, undang-undang Contempt of Court tidak menilai dengan cermat tindakan mana saja yang layak untuk dipidana, dan mana yang bisa diselesaikan dengan cara lain.
Seperti contoh di dalam Pasal 24 RUU CoC mengatur jika ada pihak yang mempublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung dapat dipidana maksimum 10 tahun penjara.
"Ketentuan pasal tersebut bisa berpotensi mengancam kemerdekaan pers, nantinya pers tidak akan bisa meliput proses jalannya persidangan," ujarnya.
RUU CoC ini memang belum diterima oleh DPR, namun adanya wacana RUU, tekan Dio, perlu dipertimbangkan kembali.
Terlebih di dalam RUU ini terdapat beberapa tindakan yang memang secara konseptual masuk ke dalam ranah pidana.
Dalam hal ini MaPPI berpendapat Pemerintah dan DPR berfokus terlebih dahulu pada pembuatan RUU KUHP dan KUHAP terlebih dahulu.
"Selain itu pembahasan mengenai perlindungan jabatan hakim juga saat ini akan dibahas di RUU Jabatan Hakim. Oleh karena itu, RUU CoC lebih baik tak perlu dilanjutkan, karena berpotensi akan adanya tumpang tindih dengan peraturan perundangan lain dan berpotensi melanggar prinsip peradilan yang terbuka untuk masyarakat," imbuh Dio.