Laporan Wartawan tribunnews.com, Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mempertanyakan ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada.
Pasal tersebut mengatur syarat pengajuan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK) yakni kurang dari dua persen selisih suara.
Refly yang sekarang juga tengah mendapingi salah satu Calon Bupati Halmahera Utara pun pesimis dengan aturan tersebut.
"Hanya sedikit yang memenuhi, paling ada 20-30 perkara saja (dari 147 gugatan)," ujarnya di kantor MK, Jakarta, Kamis (7/1/2016).
Meski demikian, Refly berpendapat MK bisa menabrak aturan tersebut.
Seperti yang pernah digariskan MK saat dipimpin Mahfud MD, yakni demi keadilan subtantif.
"Jadi harusnya MK tetap pada doktrin mereka, keadilan subtantif dengan melihat kasusnya apa," kata Refly.
Dikatakannya kalau dalilnya tidak kuat bisa dipotong, tapi kalau dalilnya kuat dan bisa berpengaruh signifikan terhadap hasil, maka pembatasan dari Pasal 158 harusnya diterobos.
"Nyatanya MK pernah terobos undang-undang sebelum digugurkan," kata Refly.