TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Intelijen Negara (BIN) tidak mempunyai kewenangan untuk menangkap dan menahan terduga teroris.
Hal itu yang mendasari BIN meminta pemerintah merevisi pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
BIN berniat memberantas terorisme di Indonesia. Tapi, dibutuhkan kewenangan menangkap dan menahan untuk merealisasikannya.
Demikian dikemukakan Kepala BIN Sutiyoso di Kantor Pusat BIN, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (15/1/2016).
Dijelaskannya, kewenangan BIN dalam menangani terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.
Khususnya pada Pasal 31 dan Pasal 34 Ayat 1, Huruf C. Pada pasal 31 berbunyi, bahwa BIN memilili wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran.
Tetapi pada Pasal 34, penggalian informasi dengan ketentuan tanpa melakukan penangkapan dan penahanan.
"Ke depan, jika ingin penanganan terorisme di Indonesia lebih memberikan rasa aman, perlu perbaikan di dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme. Di mana BIN diberikan kewenangan yang lebih untuk melakukan penangkapan dan penahanan," ujar Sutiyoso.
Dalam kewenangan itu, tentu BIN akan menyeimbangkan antara Hak Asasi Manusia, kebebasan, dan kondisi keamanan nasional.
Saat ini di Indonesia, kata Sutiyoso, yang memiliki wewenang untuk penangkapan adalah aparat keamanan, yakni Polri.
Sayangnya, ada keterbatasan juga dalam kewenangan itu. Contohnya, ada pelatihan teroris yang disampaikan oleh BIN, tapi tidak bisa ditindaklanjuti karena alat bukti dinilai kurang memadai.
"Hal itu sangat membatasi aparat kemanan dalam mencegah serangan teroris," imbuhnya.
Sebelumnya, aksi teror di Sarinah terjadi pada Kamis (14/1/2016) siang. Aksi teror dimulai setelah satu dari dua orang teroris meledakkan bom rakitan yang dibawa dalam tas ransel di dalam Cafe Starbucks Sarinah sekitar pukul 10.50.
Enam ledakan terjadi pada aksi teror tersebut. Tujuh orang tewas, lima di antaranya teroris. Selama setengah jam, para teroris selain menggunakan peledak, juga melakukan serangan langsung terhadap polisi menggunakan senjata api.
BIN, ujar Sutiyoso, telah memberikan sinyal-sinyal akan terjadi aksi teror tersebut. Sinyal-sinyal itu, satu di antaranya pernyataan Sutiyoso di pelbagai kesempatan di media mengenai sekitar seratusan kombatan ISIS yang pulang ke tanah air, 423 mantan narapidana terorisme yang sudah bebas, dan pelatihan yang diadakan oleh kelompok-kelompok radikal.
Namun aksi teror yang telah direncanakan pada Natal dan Tahun Baru 2016 ditunda. Lalu, Sutiyoso telah menginformasikan, bahwa serangan akan dilangsungkan pada tanggal 9 Januari 2016, namun kembali ditunda.
"Nyatanya tidak terjadi lagi. Mereka baru melakukannya pada 14 Januari," ucap pria yang menjabat sebagai Kepala BIN sejak 8 Juli 2015 lalu.