TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah Partai Golkar yang memutuskan untuk bergabung dalam pemerintahan Jokowi menurut Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat adalah langkah pragmatis.
Ini juga sekaligus menunjukkan bahwa Koalisi Merah Putih bukanlah koalisi ideologis.
“Partai Golkar bersama Partai Gerindra adalah inisiator KMP. Sebagai aktor utama KMP dan kalau KMP dibangun dengan landasan ideologis, maka apapun masalah yang dihadapi oleh anggota koalisi termasuk juga masalah perpecahan di internal Partai Golkar harusnya dihadapi sebagai tantangan. Kalau masalah itu diselesaikan dengan pindah koalisi, maka artinya koalisi yang dibangun bukan koalisi ideologis dan Golkar sebagai inisiator sangat pragmatis,” ujar Syarif ketika dihubungi, Senin (25/1/2016).
Aburizal sebagai ketua umum dan kubu Partai Golkar Bali menurutnya juga telah mencuri di tikungan karena sejak awal sebenarnya kubu Partai Golkar Ancol yang dipimpin oleh Agung Laksono lah yang sebenarnya ingin bergabung ke pemerintahan.
Sementara Aburizal sendiri lama mengatakan akan tetap berada dalam KMP.
“Agung Laksono dan kubunya disalib oleh Aburizal dan kubunya di tikungan,” katanya.
Langkah Aburizal merapat ke pemerintahan Jokowi jelasnya pasti akan mengurangi untuk semetara konflik internal yang terjadi dalam tubuh Golkar karena saat ini tidak ada lagi perbedaan alasan yang membedakan kubu Ancor dan kubu Bali.
”Keduanya sudah sama-sama berkeinginan mendukung pemerintahan. Jadi ini akan meredam sementara konflik internal yang terjadi,” ujarnya.
Bergabungnya Golkar ke pemerintahan mau tidak mau juga akan berdampak pada komposisi anggota kabinet karena bagaimanapun alasan pragmatis tentunya ada deal politik yang telah dilakukan.
Istilah kasarnya menurut Syarif tidak ada maka siang gratis, dan tentunya ada hal-hal yang harus dibayarkan oleh pihak-pihak yang terlibat.
”Tidak ada makan siang gratis. Karena niat bergabung alasannya pragmatis maka pasti ada deal politik, apalagi resufle jilid 2 belum jadi dilakukan. Komposisi kabinet tentuya akan berubah. Namun bergabungnya partai-partai yang bukan sepenuhnya karena ditarik tapi karena keinginan partai-partai itu sendiri, akan membuat daya tawar mereka tidak sekuat kalau mereka ditarik,” katanya.
Bergabungnya Partai Golkar yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh PAN dan kemungkinan juga nantinya akan diikuti oleh PKS dan PPP yang sangat pragamatis menurutnya juga akan berimpilikasi pada dinamika demokrasi.
Demokrasi jelasnya akan lebih diwarnai oleh pertimbangan pragmatis.
“Ini akan menambah bebas proses demokratisasi .Proses itu secara singkat bertujuan untuk menghadirkan demokrasi plus perilaku demokrasi. Jadi lembaga demokrasi itu hadir dan perilakunya juga eksis di lembaganya. Kalau koalisi yang dibangun pragmatis, maka tentunyaakan berdampak pada proses demokratisasi. Ini akan memperburuk atau memperlambat hadirnya perilaku demokrasi dalam prosesnya,” ujarnya.