TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Respublica Political Institute (RPI) mendukung rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik kepala daerah tingkat dua, yakni bupati/walikota beserta wakilnya yang akan dilaksanakan di istana negara dari semula di ibu kota provinsi.
Direktur Eksekutif RPI, Benny Sabdo menegaskan desentralisasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanyalah desentralisasi eksekutif.
Pengamat hukum tata negara ini menjelaskan Pasal 163 dan 164 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada mengatur pelantikan kepala daerah yang dilakukan di ibu kota negara, yakni gubernur dan wakil gubernur.
Sementara itu, bupati/walikota dilakukan oleh gubernur, hingga Menteri Dalam Negeri, namun dilakukan di ibu kota provinsi yang bersangkutan.
Oleh karena itu, ia mendorong Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo segera menyiapkan perangkat berupa aturan yang dibutuhkan perihal rencana pelantikan tersebut.
Menurut Benny, dalam bingkai negara kesatuan ide pelantikan bupati/walikota sah dan tidak melanggar konstitusi. Sebab negara kesatuan diorganisasikan di bawah sebuah pemerintah pusat.
"Secara konstitusional, seluruh kekuasaan pemerintah terpusat di tingkat pemerintahan pusat,” tegasnya, Rabu (3/2/2016).
Ia menjelaskan negara kesatuan dapat tersentralisasi seperti Singapura, dan dapat pula terdesentralisasi seperti Indonesia.
Bahkan, demikian Benny, desentralisasi di negara kesatuan tidak berarti lebih kecil daripada desentralisasi di negara federal.
Benny mengatakan perlu diingat bahwa daerah otonom adalah ciptaan pemerintah. Pemerintah juga berwenang untuk menghapuskannya.
Sekalipun hubungannya dengan pemerintah adalah hubungan antar organisasi, namun dalam negara kesatuan daerah otonom dibawahi (subordinasi) pemerintah.
“Daerah otonom bukanlah badan yang berdaulat. Dengan demikian, daerah otonom bukanlah negara dalam negara,” jelas alumnus Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini.
Benny juga memaparkan mengenai kedudukan dan fungsi DPRD di Indonesia bukanlah lembaga legislatif.
“Dalam sebuah negara kesatuan (unitary state) hanya DPR yang merupakan anggota Badan Legislatif bersama Presiden,” ungkapnya.
Menurutnya, dalam konteks negara kesatuan DPRD merupakan anggota Badan Eksekutif Daerah bersama Kepala Daerah dan menjalankan kegiatan-kegiatan yang “bersifat” legislatif.
“Peraturan Daerah bukanlah undang-undang dalam arti formal dan selain hanya berlaku sebagai peraturan di wilayah daerah juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” ujarnya.
Ia mengatakan hubungan antara daerah otonom dan pemerintah dalam negara kesatuan adalah dependent dan subordinate.
Sekiranya terjadi konflik, kata Benny, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk konflik antara daerah otonom dan pemerintah mengenai pembatalan Perda, maka penyelesaiannya dilakukan dalam jajaran pemerintah pusat.