Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sudah tiga minggu peristiwa teror Jakarta berlalu. Peristiwa yang terjadi di Kawasan Sarinah, Thamrin tersebut menyebabkan 8 orang tewas dan 26 orang terluka.
Enam dari korban luka tersebut adalah polisi, salah satunya Ajun Inspektur Satu Budiono, yang ditembak dari jarak dekat oleh salah seorang pelaku teror yang belakangan diketahui bernama Muhammad Ali.
Aiptu Budiono sempat kritis dan dirawat di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto.
Tiga peluru yang ditembakkan membuat ia tidak sadarkan diri selama empat hari.
Lalu bagaimana kondisi polisi yang bertugas sebagai Provost di Polres Jakarta Pusat tersebut, sekarang?
Disambangi di rumahnya di Komplek Perumahan Polri Munjul, Jakarta Timur, Kamis (4/2/2016), kondisi polisi kelahiran Jakarta 43 tahun silam tersebut tampak membaik.
Ia sudah bisa bisa berjalan dan menerima tamu yang menjenguk ke rumahnya yang sudah ia tinggali sejak kecil itu.
Ketika dikunjungi, Budiono ditemani sang istri, Rina Perdina sedang menerima tamu.
Ia adalah Aiptu Dodi Maryadi petugas bagian Lalu Lintas Polres Jakarta Pusat, yang juga menjadi korban tembak pelaku teror.
Bersama Dodi, Budiono yang berpenampilan santai dengan kaos dan kain sarung menjelaskan kondisi terakhirnya dan detik-detik sebelum menjadi sasaran peluru teroris.
Di ruang tamu sederhana ukuran 3x4 meter, Budiono menjelaskan kondisinya yang sudah membaik. Ia sudah bisa bergerak dan berjalan di dalam rumah sesuai dengan anjuran dokter.
Hanya saja dari dada hingga bahu kanannya belum bisa leluasa digerakkan, lantaran terdapat bekas jahitan dekat bagian paru-paru.
Akibat tembakan tersebut Budiono mengaku ususnya dipotong empat sentimeter. Salah satu peluru menyerempet usus dan paru-paru yang menyebabkan ia harus mendapatkan 18 jahitan.
Sambil menyibakkan kaos coklat yang dikenakannya Budiono menunjukkan perban yang dipasang vertikal dari perut bagian bawah hingga dekat ulu hati.
Pria yang lebih dari 15 tahun bertugas sebagai provost tersebut juga menunjukkan lubang bekas timah panas yang menembus di punggungnya.
Sedikit berwarna hitam, tiga lubang tapak peluru yang jaraknya berjauhan tersebut tampak sudah mengering. Menurutnya luka di bagian punggung tersebut menutup sendirinya.
"Kalau yang ini tidak diperban, " paparnya.
Awalnya Budiono mengaku kaget mendengar penjelasan dokter yang menyebutkan terdapat tiga luka tembakan.
Lantaran saat peristiwa terjadi ia hanya ditembak dua kali. Lubang ketiga yang tak ia sadari tersebut justru yang paling riskan lantaran menyerempet paru-paru.
Namun yang disukuri menurutnya adalah, peluru tersebut tidak ada yang bersarang. Berdasarkan penjelasan dokter, ia masih bisa bertahan hidup lantaran semua peluru tembus.
Saat menceritakan hal tersebut Budiono tampak lepas. Ia terlihat tidak trauma saat menjelaskan kondisinya. Bahkan ada canda tawa saat bercerita bersama rekannya Aiptu Dodi dan Tribunnews.
Aiptu Dodi ikut menambahkan cerita yang tidak diketahui Budiono, lantaran rekannya tersebut sedang dirawat dan tidak sadarkan diri di RSPAD Gatot Subroto.
Dodi dan Budiono berada satu lantai saat pertama kali tiba di rumah sakit tentara tersebut.
Menurut Dodi, saat pertama kali tiba di RS, kondisi rekannya tersebut sangat kritis. Selain pingsan, Bahkan alat pemindai detak jantung yang terpasang di Budiono sempat menjadi datar.
"Sempat datar, makanya ia pernah diisukan meninggal dunia," ujar Dodi.
Lewat kaca yang tertempel di daun pintu, Dodi pun melihat rekannya yang kritis dari tempat tidur, lantaran lokasinya bersebelahan.
Menurutnya Budiono saat itu sempat beberapa kali ditempeli alat kejut jantung.
Bersukur menurutnya setelah enam jam dioperasi, rekannya tersebut berhasil melewati masa kritis.
"Bahkan di badannya (Budiono) banyak terpasang kabel-kabel, berbeda dengan saya," katanya.
Sementara itu menurut Dodi, sama seperti Budiono, tembakan peluru pelaku teror menembus di perutnya.
Bedanya hanya satu peluru yang ditembakkan pelaku.
Dengan mengangkat kaos yang dikenakannya, Dodi menunjukkan luka di ujung perut kanan dan kiri. Menurutnya peluru tersebut bersarang di ujung perutnya tersebut.
"(Sambil memeragakan) pelurunya masuk dari sini, keluar di sini, di kiri, pelurunya tidak tembus, terlihat di ujung, sebenarnya bisa saya tarik atau cabut, takutnya semakin parah dan malah pendarahan," ujarnya.
Sambil berseloroh, Dodi mengatakan jika ia terkena peluru lantaran lemak yang menumpuk di perutnya.
Menurut dokter, peluru tersebut tidak menembus organ penting, melainkan hanya jaringan lemak yang ada di perutnya saja.
"Kalau perut saya tidak maju, mungkin peluru hanya lewat saja," katanya sambil tertawa.
Dodi mengatakan berbeda dengan Budiono, ia hanya dioperasi tidak lebih dari satu jam. Ia memuji tindakan medis yang dilakukan pihak rumah sakit, yang cepat menangani korban.
Setelah operasi, bahkan oleh dokter ia diperlakukan seperti orang sehat. Tidak ada pantangan apa pun, terkecuali membatasi gerak tubuh, terutama bagian perut.