Begitu menjabat sebagai Presiden, Gus Dur tidak sepakat dengan pemikiran Soeharto ketika itu.
Dia meyakini bahwa warga Tionghoa sebelumnya dibedakan dari warga negara Indonesia sehingga mereka berhak mendapatkan hak yang sama, termasuk menjalani keyakinannya.
Pada tahun 2000 itu, Gus Dur menetapkan bahwa hari raya Tahun Baru Imlek adalah hari libur yang fluktuatif.
Artinya, hanya mereka yang merayakan yang boleh libur.
Kebijakan itu kemudian dilanjutkan Presiden Megawati Soekanorputri yang menetapkan hari raya tersebut sebagai hari libur nasional pada tahun 2003.
Gus Dur pun menganggap Muslim Tionghoa boleh merayakan Tahun Baru Imlek sehingga tidak dianggap sebagai tindakan musyrik.
Bagi dia, perayaan ini adalah bagian dari tradisi budaya, bukan agama, sehingga sama seperti tradisi lainnya yang dilakukan di Jawa.