Kelima, kampanye viral melalui media sosial saat ini dimanfaatkan secara maksimal oleh pelaku dan pendukung LGBT untuk menyebarluaskan paham, menggalang dukungan, dan juga menjaring pengikut baru.
Sementara sampai saat ini tidak ada regulasi yang mampu secara efektif mengontrol kampanye viral melalui media sosial. Apalagi ada indikasi penyedia program media sosial - yang umumnya dari luar negeri - juga sepertinya permisif terhadap LGBT.
Keenam, sistem hukum Indonesia termasuk peraturan perundang-undangannya belum secara tegas dan jelas mengatur tentang pelaku dan perilaku LGBT ini.
Rusia, Singapura, Filipina misalnya sudah punya peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas tentang pelarangan LGBT.
Ketujuh, kalangan kedokteran, psikolog dan psikiater sudah secara jelas menyatakan bahwa LGBT adalah bentuk penyimpangan orientasi dan perilaku seksual yang bersifat menular.
Penularan ini bisa menyergap siapa saja, tidak peduli usia dan latarbelakangnya. Kalangan agamawan dari semua agama pun sudah jelas mengharamkan LGBT.
Ketujuh, sampai hari ini pemerintah belum ada kebijakan dan sikap yang jelas dan tegas tentang LGBT dalam konteks bahaya dan ancaman terhadap masa depan bangsa.
Kedelapan, kampanye LGBT yang sedang berlngsung di Indonesia mengacu kepada kesuksesan kaum LGBT di beberapa negara Eropa mendapatkan hak pengakuan hukum.
Ini akan menjadi agenda perjuangan sistemik kaum LGBT di Indonesia untuk mendapatkan hak serupa.
"Dengan memperhatikan tujuh indikator itu, maka sangat beralasan menilai bahwa Indonesia sedang memasuki darurat bahaya LGBT," kata Mahfudz Siddiq.
Pemerintah, DPR dan semua komponen masyarakat sudah semestinya memiliki kesadaran kolektif untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan ini.
Lebih khusus lagi, media massa, media penyiaran dan media sosial harus mawas diri agar tidak menjadi agen penyebarluasan pelaku dan perilaku LGBT.