POLITIKUS Partai Hanura Dewie Yasin Limpo didakwa menerima suap sebesar Rp 1,7 miliar guna memuluskan proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik Micro Hydro di Kabupaten Deiyai, Papua.
Dewi menerima sejumlah uang tersebut dari Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai Irenius Adii dan pemilik PT Abdi Bumi Cenderawasih Setiady Jusuf.
Dewie meminta dana pengawalan sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan untuk pengurusan anggaran pembangkit listrik Kabupaten Deiyai. Namun, jumlah yang disepakati hanya tujuh persen.
"Setiady hanya memberikan dana pengawalan sebesar tujuh persen dari anggaran yang diusulkan," kata Jaksa Amir Nurdianto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (22/2/2016).
Dewie Limpo juga tidak sendirian dalam melakukan tindak pidana korupsi, bersama-sama dengan tenaga ahlinya, Bambang Wahyuhadi dan staf administrasi/asisten pribadinya Rinelda Bandaso alias Ine, Anggota Komisi VII DPR ini juga bersindikat.
Jaksa KPK dalam surat dakwaannya memaparkan adanya kongkalikong berawal saat Ine pada Maret 2015 menyampaikan adanya keinginan Irenius Adii bertemu Dewie Limpo membahas rencana pembangunan pembangkit listrik yang sedang diupayakan anggarannya dari pemerintah pusat.
Dewie juga sempat akan membicarakan dengan wakil rakyat terutama Badan Anggaran DPR sekaligus menyampaikan mekanisme penganggaran melalui dana aspirasi sebesar Rp 50 miliar, sehingga dana pengawalan yang harus disiapkan adalah Rp 2 miliar.
Dalam kesepakatan terdapat syarat apabila gagal menjadi pelaksana proyek maka uang harus dikembalikan Setiady Jusuf.
"Atas kesepakatan itu Dewie meminta Setiady menyerahkan setengah dari dana pengawalan sebelum pengesahan ABPN 2016 melalui asisten Dewi, Rinelda Bandaso," kata jaksa Amir.
Terancam 20 Tahun Penjara
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Dewie bersama dua anak asistennya Rinelda Bandaso, dan Bambang Wahyuhadi diancam tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Dewie di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Selasa, 20 Oktober 2015. Politikus Partai Hati Nurani Rakyat itu merupakan adik Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.
Dewie dicokok karena diduga menerima suap 177.700 dolar Singapura atau sekitar Rp 1,7 miliar terkait dengan proyek pengembangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Papua, anggaran 2016.
Selain Dewie, anggota staf Dewie bernama Bambang Wahyu Hadi dan sekretaris pribadi Dewie, Rinelda Bandaso, ditetapkan KPK sebagai tersangka penerima suap.
Kejadian ini bermula saat tim penyelidik dan penyidik menangkap Hari (pengusaha), Depianto (ajudan), Rinelda Bandaso, Septiadi, Iranius, dan satu sopir mobil rental.
Mereka dicokok di salah satu rumah makan di Kelapa Gading pada pukul 17.45 WIB. Penyidik mengamankan duit dalam bentuk dolar Singapura pecahan 1.000 dan 50 senilai 177.700 dolar Singapura.
Dewie, Bambang, dan Rinelda dijerat Pasal 12 a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun Septiadi dan Iranius disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Diketahui mantan Kepala Dinas Tambang Kabupaten Deiyai Papua Irenius Adii dan seorang pengusaha Setiadi telah lebih dahulu duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Jakarta. (wahyu aji)