Tribunnews.com, JAKARTA- Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikenal dengan istilah Supermar merupakan secarik kertas yang menandai mulainya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Namun, hingga kini versi asli surat tersebut masih dipertanyakan.
Situasi ini, dinilai pengamat sejarah Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, terjadi karena belum ada langkah pemerintah untuk meluruskan sejarah melalui pengungkapan teks asli Supersemar.
"Hingga kini teks otentik Supersemar masih belum ditemukan," kata Asvi dalam diskusi di Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (11/3).
Asvi menyebutkan, memang telah ada Undang-Undang Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, tapi belum keluar peraturan pemerintahnya. Hal ini menyebabkan penetapan catatan penting ke daftar pencarian arsip (DPA) tidak dapat dilakukan guna mencari surat penting seperti naskah asli Supersemar.
"Kalau ada PP-nya, Badan Arsip Nasional bisa menelusurinya dan lakukan penggeledahan. Coba geledah Jalan Cendana, mungkin ada di sana," kata Asvi.
Jalan Cendana dimaksud adalah lokasi eks Presiden Soeharto tinggal di Jakarta.
Disebutkan ada tiga kontroversi yang muncul jika membicarakan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto.
Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar. Kedua, proses mendapatkan surat itu.Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto. Asvi Warman Adam, kembali menegaskan, keberadaan naskah otentik Supersemar hingga kini belum diketahui.
Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik. "Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi.
Kontroversi berikutnya mengenai proses memperoleh surat tersebut. Perlu dijelaskan kepada masyarakat, terutama dalam pelajaran sejarah, bahwa Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah tekanan.
Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.
Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak. "Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi.
Setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966. Soeharto melakukan pembubaran PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD.
Sementara itu, bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya. Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority.
Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.(tribunnews/kompas.com,)