Tercatat di sejumlah daerah perkotaan terdapat fenomena jumlah suara sah pemilih dari daftar pemilih tetap tidak lebih dari 55 persen.
Di Kota metropolitan Medan Sumatera Utara, sebagai contoh, suara sah pemilih tidak lebih dari 25 persen dari daftar pemilih tetap.
Persepsi awal masyarakat awam berkesimpulan bahwa calon kepala daerah yang sedang bertarung tidak diminati pemilih, atau karena pemilih melihat tidak ada diantara dua calon yang bertanding itu yang memberi harapan perubahan.
Akhirnya yang terjadi adalah apatisme warga untuk memberikan suaranya.
Fakta pilkada serentak Desember 2015, sekurang kurangnya di enam kabupaten/kota yang sudah maju seperti Kota Medan Sumatera Utara, Kota Batam Kepri, Kab.
Serang Banten, Kota Waringin Timur Kalimantan Tengah, Kota Surabaya Jawa Timur, dan Kabupaten Jember Jatim, suara sah apemilih tidak melebihi angka 51 persen dari Daftar Pemilih Tetap.
Fakta ini harus dilihat oleh para pemimpin partai.
Jika fakta ini tidak dilihat, hal ini mempunyai makna, lonceng kematian demokrasi ala kepartaian sudah dibunyikan.
Sehingga menurut Osbin yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa partai harus mempersulit syarat pencalonan bagi calon independen, jika partai itupun tidak dapat menghasilkan calon yang memenuhi harapan rakyat.
Kasus narkoba yang menjerat Bupati termuda Indonesia belum lama ini merupakan sinyal bahwa kaderisasi pemimpin dan kualitas calon yang diusung partai sangat dipertanyakan.(*)