TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Suara Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Aziz meninggi saat berbicara Panama Papers. Sebab, nama Harry Azhar tercantum dalam dokumen tersebut.
Harry Azhar mengaku tidak merasa bersalah meski namanya tercantum dalam Panama Papers.
"Apakah Panama Papers itu salah? Saya bersalah? Saya tidak bersalah! Yang menuntut orang tak bersalah itu yang salah," kata Harry usai menghadiri rapat paripurna DPD di Gedung Nusantara V, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (13/4/2016).
Sebelumnya, Harry mengaku memiliki dan mendirikan perusahaan di Panama usai menikahkan anaknya dengan warga Chili.
Namun sejak 2010, Harry tidak menjabat selaku direktur utama perusahaan.
Karena tak lagi menjabat sebagai Dirut, maka Harry tak mencantumkan di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Tidak ada transaksi. Nol! Apa saya (harus) laporkan harta nol saya ke LHKPN?" ujarnya.
Sejumlah kerabat Wakil Presiden Jusuf Kalla juga disebut dalam Panama Papers. Mereka yang disebut antara lain Solihin Kalla (anak), Ahmad Kalla (adik), Aksa Mahmud (adik ipar), dan Erwin Aksa (keponakan).
Kalla memastikan, sejumlah nama keluarganya dalam Panama Papers tidak berupaya menghindari pajak.
"Sama sekali tidak, semua saya suruh cek, pajaknya jelas," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (12/4/2017).
Ia menjelaskan, nama mereka tercantum dalam Panama Papers lantaran berbisnis di luar negeri. Bisnis itu berlangsung pada awal 2000-an saat Indonesia mengalami kesulitan ekonomi.
Perusahaan luar negeri itu didirikan demi mencari modal kerja dan memudahkan ekspor ke luar negeri.
"Seperti kasus adik saya, saya tanya, buat apa kamu bikin. Dia bilang wah saya lupa, cuma waktu itu buat tender letter of credit, supaya diterima, pakai perusahaan luar," ungkapnya.
Ia mengemukakan, langkah itu diambil demi menyelamatkan perusahaan dari krisis.
Kalla menambahkan, praktik penggunaan perusahaan luar negeri umum dilakukan dalam bisnis. Bahkan, pemerintah juga melakukan hal yang sama, seperti Petral.
Kendati Petral akhirnya dibubarkan, keberadaan Petral yang berbasis di Singapura ditujukan untuk memudahkan negosiasi pengadaan bahan bakar minyak.
Ia menambahkan, perusahaan luar negeri juga pernah digunakan untuk membeli pesawat luar negeri.
"Jadi tidak semua salah. Jangan dikatakan nama yang ada di Panama Papers semua salah," ungkapnya.
Mantan Menko Kesra ini mengatakan, dokumen yang dikeluarkan International Consortium of Investigative Journalists juga memuat disclaimer.
Disebutkan, sejumlah nama yang berada di dalam dokumen, tidak berarti melanggar hukum.
Oleh karena itu, tambah Kalla, nama-nama yang disebut dalam Panama Papers itu tidak mesti memberi klarifikasi.
"Kalau ada bukti salah, orang tersebut boleh dipanggil pihak pajak," katanya.
Airlangga Hartanto, Politisi Golkar yang kini duduk di Komisi XI juga angkat suara perihal Panama Papers.
Apalagi, nama Anggota DPR RI yang membidangi Keuangan, Perencanaan Pembangunan, dan Keuangan itu tercantum dalam Panama Papers.
"Tidak benar itu saya merasa punya utang malah di luar negeri?" kata Airlangga menyikapi tudingan perusahaan atau asetnya di luar negeri demi menghindari pajak.
Pria kelahiran Surabaya 54 tahun silam ini mengaku, menggeluti bisnis keuangan.
Menggunakan label Buckley Development Corporation, Airlangga menyebut, perusahaan Special Purpose Vehicle (SPV) tersebut, justru untuk memikat perusahaan luar negeri berinvestasi di Indonesia.
"Ya saya kan punya aset management di luar negeri yang listingnya di Irlandia. Tapi kapital marketnya di Indonesia," ujarnya.
Airlangga menyebut, Indonesia menganut world wide tax income. Itu berarti, pemasukan aset di luar negeri yang dimiliki wajib pajak, juga harus dilaporkan di pajak Indonesia.
Sementara Singapura menganut sistem residen, dimana penghasilan di luar negeri yang dimiliki warganya tidak dikenakan pajak.
"Singapura itu berbasis residen. Wajib pajak itu tinggal dimana, jadi kalau ada penghasilan di luar negeri, tidak kena pajak di negara Singapura," paparnya.
Ia menambahkan, sistem residen yang diterapkan di Singapura merupakan fasilitas negara. Sistem ini dimanfaatkan individu dan perusahaan multinasional untuk mengembangkan bisnis.
"Dengan tax tersebut banyak head quarter perusahaan kumpulnya di Singapura, bukan kumpul di Indonesia. Ini namanya persaingan iklim investasi," katanya seraya menyangkal, SPV justru digunakan untuk menghindari pajak.
Menurutnya, SPV bisa digunakan untuk berinvestasi atau berutang.
"Saya sendiri punya Indonesia Growth Fund. Indonesia Growth Fund termasuk SPV tapi regulatorinya di Irlandia, investasinya saham di Indonesia. Karena kalau kita ke Dublin (Irlandia) menawarkan saham Astra Indonesia mereka enggak mau, tapi kalau bentuk fund, reksadana, laku. Jadi tax haven ini engga semua dipakai untuk penghindaran pajak," urainya.
Ia mengemukakan, tax haven merupakan bagian dari persaingan ekonomi global. Sejumlah negara memiliki daerah yang-daerah yang dianggap sebagai tax haven.
"Jadi kalau masalah tax haven itu adalah fasilitas yang diberikan negara dalam rangka kaitan dengan iklim investasi dalam rangka pesaingan global, di Amerika kan ada Delawer (Ohio), di Malaysia ada Labuan," imbuhnya. (tribunnews/fiq/zul)