TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dikukuhkannya penganiayaan yang dilakukan aparat keamanan Indonesia oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti merupakan perubahan sikap yang belum pernah terjadi sebelumnya, setelah lebih dari satu dekade polisi menyangkal praktik semacam itu.
Demikian Amnesty International, Kamis lalu dikutip Tribunnews.com dari Voa-Indonesia, Sabtu (23/4/2016).
Dalam pengakuan yang langka dikemukakan itu, Kapolri mengukuhkan bahwa anggota tim antiteror Densus 88 telah menendangi dada seorang terduga teroris (almarhum Siyono) hingga tulang iganya patah dan menyebabkan tersangka mengalami gagal jantung.
(Baca juga: Dukung Densus 88, Ruhut: HAM Apa yang Dilanggar? Hak Asasi Monyet)
(Baca juga: Ruhut Dinilai Menyakiti Keluarga Siyono, Sebut HAM Sebagai Hak Asasi Monyet!)
Direktur Amnesty untuk wilayah Asia Tenggara Josef Benedict menyatakan pengakuan semacam itu, yang tidak pernah dilakukan oleh Kapolri, merupakan perubahan besar dari sikap yang semula terus menerus membantah bahwa penganiayaan oleh polisi umum terjadi di Indonesia.
“Lebih dari satu dekade kami mempublikasikan penggunaan metode penganiayaan yang mengerikan di Indonesia. Ini memberi secercah harapan bahwa budaya impunitas yang endemik, yang digunakan polisi dapat mulai berubah,” sebut Benedict.
Jenderal Badrodin Haiti mengemukakan pengakuan tersebut hari Rabu di hadapan Komisi III DPR yang memanggilnya untuk menjelaskan klaim awal polisi bahwa Siyono, terduga teroris yang tewas dalam status tahanan, meninggal karena luka -luka dalam perkelahian dengan anggota Densus.
Namun Kapolri menegaskan kematian Siyono bukanlah kejahatan atau pelanggaran HAM oleh anggota Densus 88, melainkan karena pelanggaran prosedur. [uh/ab]
(Sumber: amnestyusa.org, thejakartapost.com/Voa-Indonesia).