TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon berkomentar mengenai isu membanjirnya buruh asing China di Indonesia.
Menurut Fadli, isu buruh asal Chna merupakan isu sensitif yang harus disikapi secara hati-hati oleh pemerintah dan tidak boleh dianggap remeh.
“Kita punya problem sejarah terkait konflik etnis yang melibatkan etnis, baik pada masa kolonial maupun sesudah kemerdekaan. Itu sebabnya isu mengenai buruh asing asal China merupakan isu sensitif. Pemerintah tak boleh menafikan isu ini menjadi semata-mata soal angka atau ekonomi," kata Fadli Zon dalam keterangannya, Minggu (17/7/2016).
Fadli melihat setidaknya ada tiga alasan kenapa soal tenaga kerja asing asal China ini tak boleh disepelekan oleh pemerintah.
Sehingga isu itu kemudian tak bisa lagi dianggap sebagai isu perburuhan semata, melainkan telah menjadi isu sosial, politik, dan keamanan.
“Pertama, dalam sejarah, kita punya pengalaman konflik etnis yang tak menyenangkan yang kemudian menjadi luka kolektif bangsa. Kita tidak ingin soal buruh asing ini akan mengusik kembali konflik dan luka lama itu," tuturnya.
Kedua, isu mengenai buruh asing asal China ini muncul ketika perekonomian nasional tidak sedang baik-baik saja, dan angka ketimpangan ekonomi juga sedang buruk-buruknya, dimana indeks gini kita mencapai 0,45, yang merupakan angka terburuk sepanjang sejarah. "Pemerintah mestinya sensitif mengenai hal ini. Jangan sampai pemerintah dianggap sebagai telah merampas kesempatan kerja bagi rakyatnya sendiri," imbuhnya.
Ketiga, kata Fadli, RRC saat ini sedang menjadi sorotan dunia, terutama dalam persoalan konflik Laut China Selatan. Menurutnya, pemerintah perlu melihat isu buruh asal Cina ini dalam konteks geopolitik dan geoekonomi juga. "Jangan sampai mengorbankan kepentingan nasional Indonesia,” ujar Waketum Gerindra itu.
Lebih jauh Fadli menyoroti keganjilan pernyataan pemerintah dalam menyikapi persoalan ini. Ia mengutip pernyataan Menteri Tenaga Kerja yang menyatakan jika jumlah tenaga kerja asing cenderung turun.
Menurutnya hal tersebut terbilang aneh. Sebab, Indonesia sudah masuk ASEAN Economic Community, dan apalagi sejak Juni 2015 lalu pemerintah telah membebaskan visa kunjungan dari 169 negara ke Indonesia. Pasti ada persoalan di situ.
"Apalagi, sebagaimana yang bisa dibaca dari berbagai berita, munculnya imigran-imigran gelap makin sering terjadi di Indonesia. Jangan sampai turunnya angka tenaga kerja asing yang dicatat oleh Kementerian Tenaga Kerja merupakan efek dari lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum. Harus dicek benar itu,” jelasnya.
Fadli menuturkan tidak ada negara di dunia yang membuka pintunya sedemikian lebar bagi tenaga kerja asing, kecuali kualifikasinya memang tidak tersedia di dalam negeri.
“Di ASEAN saja, dalam MEA, kita punya perjanjian bahwa pekerja asing yang diperbolehkan hanya terkait delapan profesi dan itupun jabatannya spesifik dan telah ditentukan. Lha ini pemerintah tidak melakukan tindakan apapun atas ribuan buruh asal China yang kualifikasinya hanya buruh angkut, penggali tanah, tukang semen, atau tukang rumput,” imbuhnya.
“Sebagai investor, RRC hanya merupakan negara dengan investasi terbesar kesembilan saja di Indonesia. Begitu juga sebagai kreditor, kredit dari China hanya menempati urutan kelima, kalah oleh Singapura, Jepang, AS dan Belanda. Tapi anehnya, jumlah tenaga kerja asing kita didominasi oleh Cina, hingga 23 persen. Dari sisi politik dagang, sudah jelas Cina lebih diuntungkan daripada kita," tambahnya.
Fadli kemudian mengingatkan jika investasi asing secara konservatif mestinya bisa membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia. Apalagi, menurut data BPS, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia semakin meningkat. “Saya pernah membaca jika ada sebuah pabrik yang 90 persen tenaga kerjanya berasal dari China. Itu kan kebijakan yang tidak benar,” katanya.