TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perombakan kabinet jilid kedua yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (27/7/2016) kemarin, menarik perhartian Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma) Said Salahudin.
Terutama terkait jatah satu kursi menteri kepada Partai Golkar di Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla (JK).
Kata Salahuddin, hal itu agak ganjil.
Sebab, walaupun terbilang sebagai pendukung baru Permerintah, fakta politik menunjukan Partai Golkar saat ini adalah pemilik kursi nomor dua terbanyak di DPR setelah PDI-Perjuangan.
"Dengan kekuatannya di Parlemen itu, maka satu kursi Menteri Perindustrian untuk Airlangga Hartarto terasa kurang sebanding," tegas dia kepada Tribunnews.com, Kamis (28/7/2016).
Apalagi kata dia, Golkar sudah mengagendakan untuk mengusung Jokowi sebagai Capres 2019-2024.
" Ini agak ganjil," katanya.
Lebih lanjut katanya, kalau JK dan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) tentu tidak tepat untuk dimasukan sebagai unsur yang 'dikompromikan' dalam kerjasama politik antara Partai Beringin dengan Jokowi sekarang ini.
Sebab keberadaan JK dan LBP di lingkungan Istana sejak awal tidak sebagai representasi Golkar.
"Jadi jatah satu kursi menteri untuk Golkar dalam kalkulasi politik memang kurang masuk akal," jelasnya.
Sebab partai-partai pendukung Pak Jokowi yang lain, yang kepemilikan kursinya di Parlemen jauh dibawah Golkar saja punya tiga kursi menteri di Kabinet.