Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Sudung Situmorang mengaku kenal dengan Marudut Pakpahan sebagai seorang pengusaha.
Dalam persidangan Marudut yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran menjadi perantara dalam kasus suap yang diberikan PT Brantas Abipraya, pernah mendatangi Sudung.
Diketahui Marudut bersama Sudi Wantoko selaku Direktur Keuangan dan Dandung Pamularno selaku Senior Manager PT Brantas Abipraya, berusaha melobi kasus yang ditangani Kejati DKI.
Kasus korupsi di perusahaan plat merah itu memang tengah diusut Kejaksaan Tinggi DKI setelah menerima pelimpahan dari Kejaksaan Agung.
"23 Maret 2016, Marudut datang bertamu kepada saya, bilang ada kawannya diperiksa. Dia hanya bilang itu tidak benar bang, itu pendzoliman," kata Sudung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (3/8/2016).
Sudung juga mengaku sudah kenal lama dengan Marudut sehingga mempersilahkan dirinya datang ke kantornya. Usai menerima pengaduan tersebut, Sudung langsung memanggil Asisten Pidana Khusus Kejati DKI, Tomo Sitepu.
"Terus saya panggil Aspidsus, karena bagian teknis itu Aspidsus. Saya panggil Pak Tomo, bro ini Marudut datang ada kawannya ada pengakuan katanya dia dizolimi," kata Sudung.
Setelah mendapat pengaduan dari Marudut, Sudung bersama Tomo langsung mendiskusikannya. Namun, sejak semula pihaknya memang sudah mengeluarkan surat perintah penyelidikan menindaklanjuti surat dari Kejagung.
"Dari Kejagung sudah ada penyelidikan perlu ditindaklanjuti. Ada telaah itu, saya confirm. Kemudian dibuatlah surat penyelidikan," katanya.
Seiring berjalannya waktu, Sudung mengungkapkan bahwa Marudut meminta bertemu kembali pada 30 Maret 2016 dengan mengirimkan pesan singkat. Namun, menurut Sudung, pesan tersebut baru dia balas pada 31 Maret 2016, dengan menyebut tak bisa menemuinya.
"Terus dua jam atau tiga jam setelah itu, saya karena kurang sehat saya tidur lagi. Saya (kirimi pesan) BB bilang dengan bahasa batak, jangan datang sekarang lain waktu, lihat situasi saya, saya kurang sehat, hati-hati. saya biasa sapa hati-hati, horas," kata Sudung.
Sebelumnya nama Sudung dan Tomo disebut dalam dakwaan Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno.
Sudung dan Tomo disebut dijanjikan dan diberi uang dari dua bos BUMN itu senilai Rp 2,5 miliar dalam bentuk dollar Amerika Serikat sejumlah USD 186.035,00.
Percobaan suap bermula ketika pada 15 Maret 2016 Sudung Situmorang mengeluarkan surat perintah penyelidikan dugaan korupsi penyimpangan penggunaan keuangan perusahaan yang dilakukan Sudi Wantako yang merugikan keuangan negara dalam hal ini PT Brantas Abipraya sebesar Rp 7.028 miliar.
Menindaklanjuti hal itu Tomo Sitepu memanggil sejumlah staf PT Brantas Abipraya untuk dimintai keterangan.
Sudi yang mengetahui pemanggilan pada staf PT Brantas mempunyai pemahaman bahwa penanganan perkara telah masuk dalam tahap penyidikan dan Sudi sebagai tersangkanya.
"Karena itu Terdakwa I meminta Terdakwa II untuk ikut membantu dalam menghentikan penyidikan kasus tersebut," kata Jaksa KPK Irene di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (22/6/2016).
Jaksa Irene menjelaskan, terdakwa II kemudian menghubungi Marudut guna membicarakan pemanggilan staf PT Brantas Abipraya oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Pada 22 Maret 2016 diadakan pertemuan untuk membahas hal itu.
"Marudut diminta Terdakwa II untuk menyampaikan kepada Sudung agar menghentikan proses pemeriksaan terhadap penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya. Atas permintaan itu, Marudut menyanggupinya dan segera membicarakannya dengan Sudung," kata Jaksa Irene.
Menindaklanjuti permintaan itu, Marudut kemudian menemui Sudung di kantornya.
Dalam pertemuan itu, Marudut meminta kepada Sudung dan Tomo untuk menghentikan penyelidikan penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya.
"Atas permintaan itu Sudung memerintahkan Marudut untuk membicarakan lebih lanjut dengan Tomo Sitepu," katanya.
Atas arahan Sudung, Marudut lantas menemui Tomo dan meminta supaya penyelidikan dihentikan.
Tomo yang mengetahui kasus masih tahap penyelidikan, menyebut bahwa kasus sudah tahap penyidikan.
"Tomo menyetujui untuk menghentikan penyidikan dengan syarat Terdakwa I memberikan sejumlah uang dan permintaan tersebut disanggupi oleh Marudut," kata Jaksa Irene.
Hasil pertemuan itu kemudian disampaikan Marudut kepada Terdakwa II.
Kemudian Terdakwa II meminta uang kepada Terdakwa I sejumlah Rp 2,5 miliar.
Terdakwa I kemudian memerintahkan Terdakwa II untuk mengambil uang kas dari PT Brantas Abipraya melalui Joko Widiyantoro.
Guna menindaklanjuti perintah para terdakwa, tanggal 28 Maret 2016 sampai tanggal 30 Maret 2016 Joko Widiyantoro mengambil uang dari kas PT Brantas Abipraya sejumlah Rp 2,5 miliar dengan cara mengeluarkan voucher pengeluaran kas PT Brantas Abipraya sejumlah Rp5 miliar untuk membiayai proyek Wisma Atlet C3 di Kemayoran.
Wisma Atlet C1 di Kemayoran dan proyek Rumas Susun Sulawesi 3 di Makassar sehingga seolah-olah pengeluaran uang tersebut untuk pembiayaan proyek.
"Padahal sejumlah Rp2,5 miliar ditarik kembali dan ditukarkan dalam pecahan dollar Amerija sejumlah USD 186,035 untuk diberikan pada Tomo Sitepu dan Sudung Situmorang," kata Jaksa Irene.
Pada 31 Maret 2016 bertempat di toilet pria lantai 5 The Hive Hotel Best Western Cawang, Terdakwa II meneyerahkan uang sejumlah Rp2 miliar dalam bentuk mata uang dollar Amerika Serikat sejumlah USD 148.835,00 sedangkan uang Rp 500 juta disimpan Terdakwa II untuk biaya makan dan golf dengan Sudung.
Setelah mendapat duit, Marudut menghubungi Sudung tapi tak ada jawaban. Dia lantas menghubungi Tomo untuk menghadap dan memberikan duit.
Setelah Marudut dipersilakan untuk datang ke Kejaksaan Tinggi DKI oleh Tomo Sitepu dan Sudung Situmorang, Marudut langsung menuju kantor Kejaksaan Tinggi DKI.
"Namun dalam perjalanan, Marudut ditangkap dan uang sejumlah USD148.835 disita oleh petugas KPK," kata Jaksa Irene.
Terkait perbuatannya, Terdakwa I dan Terdakwa II didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiman telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.