TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi Hukum, Todung Mulya Lubis, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana syarat penghilangan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama) untuk mendapatkan remisi kepada terpidana korupsi, narkoba dan terorisme.
Khusus mengenai korupsi, Todung mengatakan Indonesia masih dalam keadaan darurat.
Oleh karena itu, kata dia, tidak tepat apabila kebijakan terebut diterapkan.
"Remisi itu hak, tapi hukuman kasus korupsi harus lebih ketat, salah satunya JC (justice collaborator). Saya tidak setuju rencana itu," kata Todung di gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/8/2016).
Menurut Todung, meski Indeks Persepsi Korupsi Indonesia semakin membaik namun bukan berarti bisa mencabut syarat tersebut.
Jadi, kata dia, status justice collaborator sangat penting agar jadi pelajaran bagi koruptor untuk membantu pengusutan kasus korupsi.
"Kita ini lagi darurat korupsi seperti ini meski indeks korupsi membaik. Kita masih masuk negara yang banyak korupsi di dunia. Jadi pembelajaran terhadap koruptor itu penting," tukas alumnus Harvard Law School itu.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menyusun rancangan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakatan.
Pada revisi PP tersebut, syarat terpidana korupsi, narkoba, terorisme dan mereka harus bekerjasama dengan penegak hukum untuk mendapatkan remisi, dihilangkan.
Syaratnya menjadi berkelakuan baik, dan telah menjalani 1/3 masa pidana mereka. Selain itu, membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan.