Laporan wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sukses tidaknya proses hukum untuk mencari keadilan bagi seorang jurnalis yang menjadi korban tindak kekerasan, hal itu juga tergantung dari keseriusan korban dan media tempatnya bekerja.
Hal tersebut disampaikanĀ Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Nawawi Bahrudin.
Pasalnya tak jarang setelah menjadi korban kekerasan, sang jurnalis yang menjadi korban justru memilih untuk tidak melanjutkan proses hukum.
Menurut Nawai ada kasus di mana hal itu terjadi karena kasus kekerasan itu justru dimanfaatkan pihak perusahaan untuk mendapatkan keuntungan.
"Bukan diberikan perlindungan, malah jadi bargain (alat tawar), untuk mendapat iklan, jadinya paid jurnalisme (Red: jurnalisme yang dibayar)," ujar Nawawi dalam pernyataan sikap terkait pemukulan wartawan oleh oknum TNI AU di Medan, yang digelar di gedung Graha Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKS), Jakarta Pusat, (4/9/2016).
Model penyelesaian seperti itu menurutnya justru malahan merusak posisi tawar para wartawan di hadapan aparat, dan tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku.
Dengan demikian tidak akan ada jaminan kedepannya tidak ada lagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan.
"Model penyelesaian ini tidak boleh berulang, profesi jurnalis harus dihormati," katanya.
Penyelesaian mmdel seperti itu juga akan membuat aksi-aksi solidaritas yang dilakukan wartawan lain, seperti menggelar aksi protes hingga menyampaikan protes langsung ke pimpinan lembaga tempat si pelaku bekerja, akan menjadi sia-sia.
Terkait kasus pemukulan pewarta foto Tribun Medan, Array Argus wartawan Tribun Medan dan wartawan MNC TV, Andri Safrin oleh oknum TNI AU di Medan pada 15 Agustus lalu, ia mendorong agar kasus itu diselesaikan sesuai aturan-aturan yang belaku.
Bila pelaku sukses dihukum, maka hal itu akan menjadi sinyal bagi orang lain, untuk tidak melakukan kekerasan terhadap wartawan.