TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politik dinasti menjadi problematika jelang Pilkada serentak 2017.
Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pembatasan syarat calon kepala daerah.
Sehingga membuat proses penjaringan calon kepala daerah menjadi kurang kredibel.
"Praktik dinasti menjadi problematika baru. Apa yang menjadi persoalan mendasar? Tidak ada satupun proyeksi melancarkan kaderisasi politik yang lebih baik," kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dalam diskusi ‘Politik Dinasti: Apa Gunanya Bagi Republik dan Demokrasi?’ di kawasan Menteng, Jakarta Minggu (18/9/2016).
Fadli mengakui harapan sempat muncul saat UU Pilkada direvisi.
Dimana, salah satu pointnya calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
"Tidak boleh hubungan darah satu ke atas, kesamping dan kebawah. Itu untuk menghindari praktik peyimpangan sehingga demokrasi tidak berjalan," katanya.
Ia membantah aturan tersebut untuk membatasi hak warga.
Namun, memberikan pengaturan agar anak kepala daerah yang ingin maju dalam Pilkada menunggu satu periode.
"Tapi itu menjadi sesuatu yang tak bisa dilaksanakan karena itu dibatalkan MK. Sekarang kita tinggal berharap kepada pengawas pemilu," katanya.
Ia mengatakan politik dinasti merusak kaderisasi dalam tubuh parpol. Pasalnya, tujuan partai politik melakukan rekruitmen dalam konstestasi pilkada.
Hal itu, diawali dengan demokrasi di internal mereka.
"Apa yang terjadi sekarang yaitu sangat jarang sekali parpol mampu melakukan penjaringan yang bisa diukur dan konsisten," imbuhnya.