TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gelaran Pilkada Serentak 2017 semakin dekat. Lembaga survei mulai kembali gencar unjuk diri. Namun, lembaga survei tak lepas dari kritikan publik maupun politisi. Alasannya, tak sedikit lembaga survei partisan yang berpihak pada calon-calon tertentu dalam Pilkada.
Selain itu, sejumlah lembaga survei juga kerap berperan sebagai konsultan politik. Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menjadi salah satu yang menentang rangkap peran tersebut.
Ia menegaskan, seharusnya lembaga survei tak berperan sebagai konsultan politik, apalagi tim pemenangan calon tertentu.
"Kalau dia sebagai lembaga survei ya sudah. Tidak boleh jadi konsultan politik apalagi timses," kata Riza di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Lembaga survei, lanjut Riza, biasanya diisi oleh orang-orang profesional dan kalangan intelektual. Seharusnya, integritas melekat pada diri mereka.
Integritas tersebut pada akhirnya terjungkal karena mengorbankan uang semata. Meski begitu, bukan berarti lembaga survei tak boleh dipesan. Siapapun boleh memesan, asal hasilnya tak dipengaruhi.
"Kita harus segera kembali pada nasionalisme kita. Jauh dari hal-hal yang bersifat materi. Integritas harus dikedepankan," kata Wakil Ketua Komisi II DPR itu.
Senada dengan Riza, Anggota Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahmat Nasution Hamka menyebutkan tiga hal yang harus dikedepankan oleh lembaga survei. Tiga hal tersebut adalah independensi, transparansi dan integritas. Lembaga survei tak seharusnya disusupi kepentingan salah satu pihak.
"Kalau ada yang merangkap, kita tidak bisa lagi harapkan," ujar Hamka.
"Dikhawatirkan mereka bisa memoles calon. Ada kejahatan demokrasi yang dilakukan," sambungnya.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie sebelumnya juga berpesan kepada masyarakat Jakarta agar tidak menjadikan hasil survei sebagai pertimbangan memilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017. Pilkada DKI menjadi salah satu panggung strategis bagi lembaga-lembaga survei unjuk gigi.
"Jangan percaya pada segala macam survei, enggak penting itu survei-survei," kata Jimly.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu memberikan contoh Pilkada DKI Jakarta pada 2012. Saat itu, sejumlah lembaga survei menyebutkan bahwa elektabilitas calon Fauzi Bowo atau Foke dan Nachrowi Ramli tidak pernah di bawah 50 persen responden.
Foke merupakan calon petahana yang dinilai memiliki peluang lebih besar untuk memenangi pilkada ketimbang penantangnya, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama atau Jokowi-Ahok. Nyatanya, Foke justru dikalahkan oleh pasangan Jokowi-Ahok dalam dua putaran pilkada.
Di putaran kedua, Jokowi-Ahok meraih 53,8 persen suara di atas perolehan suara Foke-Nachrowi sebesar 46,2 persen.
Bukan hal baru
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro memaparkan, bukan hal baru jika independensi dan integritas lembaga survei dipertanyakan. Ia mencatat, sejak 2008 lembaga-lembaga survei sudah mulai tak independen dan membela yang membayar.
Padahal, publik serta user, dalam hal ini partai politik, menginginkan agar lembaga survei jelas, transparan dan bisa mempertanggungjawabkan hasilnya. Banyak lembaga survei kurang ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Lembaga survei yang tidak profesional, kata Siti, harus dihukum karena melakukan kebohongan publik.
"Dia sebetulnya tim sukses dan partisan tapi seolah-olah melakukan kerja secara profesional," tuturnya "Dari survei ini, diharapkan jadi double-check bagi lembaga-lembaga," lanjut Siti.
Adapun Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Philip Vermonte berpendapat, masyarakat saat ini sudah kritis dan mampu menilai mana lembaga survei yang dapat dipercaya.
Ia tak menampik ada lembaga-lembaga survei yang berniat menggiring opini publik. Namun, belum tentu masyarakat mudah percaya. Kalau pun ada lembaga survei yang menilai kandidat tertentu hanya berpeluang kecil untuk menang, belum tentu pada hasil akhirnya akan betul-betul kalah.
"Waktu 2004. SBY (Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono) surveinya kecil. Yang terjadi kebalikannya kan?" ucap Philip.
Ia menambahkan, hal tersebut terjadi karena SBY mempercayai nilai metodologis dan mengubah strategi kampanyenya menjadi lebih baik dan rapi. Philip menegaskan, tingkat kepentingan survei bergantung bagaimana respon kandidat.
Menurutnya, yang menjadi permasalahan adalah banyak lembaga survei yang tak kredibel tetapi tetap dimuat di media massa. Philip pun menawarkan solusi. Ke depannya setiap lembaga survei harus menyertakan data mentah.
"Kalau itu ada, semua ahli statistik akan tahu ini ketahuan apa enggak. Tidak cukup hanya press release dan power point. Supaya ketahuan apa benar margin of error-nya segitu? Sampelnya bagaimana," tutur Philip.
Hal tersebut menjadi sulit karena banyak lembaga survei yang dbayar oleh klien sehingga mereka dilarang merilis data mentah.
"Kalau ini dilakukan, bisa transparan, kita enggak perlu lagi ribut-ribut apakah survei A benar atau tidak," tutupnya.
Penulis : Nabilla Tashandra