TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan rancangan undang-undang Pemilu masih dapat diubah dan diseleraskan bersama DPR.
Hal itu dikatakan olehnya terkait dengan adanya kritikan dari pegiat pemilu yang menjelaskan banyak kesalahan dari RUU Pemilu yang disampaikan oleh pemerintah.
"Namanya kan masih rancangan, masih bisa diubah nanti bersama DPR dalam pembahasan awal Pansus. Jadi kami masih bisa dapatkan masukan-masukan," kata Tjahjo melalui pesan singkat, Jakarta, Senin (7/11/2016).
Pemerintah, kata dia, saat ini masih terus menyerap aspirasi masyarakat melalui pegiat pemilu serta kedaulatan partai politik terkait dengan rancangan UU Pemilu.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, Lembaga Penelitian Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif menemukan adanya 23 pasal krusial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu yang berpotensi melanggar konstitusi atau putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua KODE Inisiatif Veri Junaidi mengungkapkan, 23 pasal krusial ini ke dikelompokkan dalam sembilan kualifikasi, yakni Penyelenggara; Syarat calon; Sistem pemilu; Keterwakilan perempuan; Syarat parpol dalam pengajuan Calon Presiden atau Wakil Presiden;
Larangan kampanye pada masa tenang; ketentuan sanksi kampanye; waktu pemilu susulan atau lanjutan; dan putusan DKPP terkait etika penyelenggaraan pemilu.
Mengenai penyelenggaraan pemilu, misalnya. Aturan keharusan bagi KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara negara untuk rapat dengar pendapat bersama DPR merupakan suatu kejanggalan.
Apalagi hasil dari rapat tersebut mengikat. Ini, kata Veri, bertentangan dengan Pasal 22 E Ayat 5 UUD 1945.
Pasal itu menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Artinya, tak diperlukan RDP yang bersifat mengikat.
Pada draf UU Pemilu, aturan RDP tersebut tercantum dalam Pasal 58 Ayat 4.
Veri menjelaskan, independensi KPU dalam membentuk PKPU akan tergerus atas adanya ketentuan RDP.
Selain itu, jika ketentuan ini dibiarkan maka memunculkan perlambatan penyusunan PKPU.
Kemudian, terkait Sistem pemilu tentang pemilihan anggota DPRD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota yang dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas yang dimasukkan dalam RUU Pemilu Pasal 138 Ayat 2.
Aturan ini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-IV-2008, Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28 D Ayat 3 yang menyinggung soal hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Veri menjelaskan, putusan MK telah menyatakan bahwa dasar penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan, bukan mengacu kepada nomor urut terkecil yang telah ditetapkan oleh partai.
"Karena hal ini akan memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak," kata dia.
Veri menilai, jika pasal-pasal ini dibiarkan keberadaannya akan berakibat pelanggaran terhadap konstiusi atau inskonstitusional.
"Kalaupun tetap dipaksakan, justru berpotensi dibatalkan oleh MK. Kondisi ini tentu tidak akan menguntungkan terhadap penataan grand desain kepemiluan," ujarnya.
Sementara itu, peneliti KODE Inisiatif Adelina Syahda menambahkan, sedianya pembentuk UU, yakni DPR dan Pemerintah, memperhatikan putusan-putusan MK dalam membuat RUU.
"Semestinya RUU ini mengacu pada apa yang sudah diputuskan oleh MK, mengingat putusan MK harus dimaknai sebagai perintah konstitusi," kata dia.