Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selasa, 22 November 2016, Tim Pemantau DPR RI atas pelaksanaan undang-undang otonomi khusus melakukan kunjungan kerja ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Kunjungan kerja ini diikuti oleh sembilan anggota DPR RI lintas fraksi yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Dr Fadli Zon.
"Salah satu tugas DPR adalah melakukan pengawasan. Dan kunjungan kerja ke DIY ini adalah dalam rangka mengawasi pelaksanaan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta. Kami ingin mendalami sejumlah persoalan yang berkembang di Yogya terkait pelaksanaan UU tersebut, terutama untuk soal agraria,” kata Fadli dalam keterangannya, Selasa (22/11/2016).
DPR, kata Fadli, menangkap ada kegelisahan di sejumlah masyarakat Yogya akibat berubahnya politik hukum pertanahan sesudah berlakunya UU Keistimewaan. Menurut Fadli, persoalan tersebut tidak boleh diabaikan.
"Dari pengaduan-pengaduan yang masuk, ada kesan bahwa UU Keistimewaan telah ditafsirkan seolah bersifat lex specialis terhadap UU Pokok Agraria, padahal seharusnya tidak. UU Keistimewaan hanya bersifat lex specialis terhadap UU Pemerintah Daerah," kata Waketum Gerindra itu.
Di Yogyakarta, Tim Pemantau melakukan kunjungan ke Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Bantul.
Sejumlah kasus sengketa agraria, seperti kasus penambangan pasir besi, lahan bandara, serta sejumlah kasus penggusuran, yang kesemuanya terkait dengan klaim tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG), menjadi obyek sorotan tim.
Di Kulonprogo, tim ditemui oleh Sekretaris Daerah dan jajarannya, mewakili bupati yang tidak bisa hadir. Sementara, di Bantul tim disambut oleh bupati dan jajarannya lengkap.
“Ini merupakan kunjungan kerja kedua Tim Pemantau ke Yogya. Kunjungan pertama adalah pada 5-6 Juni 2015. Dari dua kali kunjungan ini, serta FGD yang dilakukan DPR pada 26 Oktober 2015 tentang pertanahan di DIY, kami menilai jika sejumlah persoalan yang muncul pasca-berlakunya UU Keistimewaan berasal dari dua hal," kata Fadli.
Pertama, kata Fadli, pemerintah pusat belum melengkapi UU tersebut dengan berbagai peraturan pelaksana, sehingga menimbulkan interpretasi beragam.
Kedua, UU Keistimewaan masih butuh sinkronisasi dengan UU lainnya, terutama UU PA. Fadli mengatakan proses sinkronisasi seharusnya terjadi di level undang-undang. Artinya, harus digodok bersama oleh pemerintah pusat dan DPR.
"Berdasarkan masukan-masukan dari berbagai pihak, dan bukan disinkronisasi di level Perda. Karena kalau sinkronisasi aturannya dilakukan di level Perda, UU Keistimewaan berpotensi akan menjadi lex specialis dari berbagai undang-undang," kata Fadli.
Sesuai undang-undang, lanjut Fadli, keistimewaan dan otonomi khusus dimaksudkan untuk melakukan percepatan pembangunan bagi rakyat.
"Itu sebabnya, jika ada yang malah menggelisahkan rakyat, harus kita evaluasi dan awasi,” tutur Fadli.