TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polri secara resmi mengumumkan penetapan 11 tersangka yang diduga berupaya merusak situasi keamanan ketika aksi doa bersama dilakukan pada Jumat (2/12/2016).
Dari 11 orang yang ditangkap, tujuh di antaranya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan melakukan permufakatan makar.
Ketujuh orang tersebut adalah Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Ratna Sarumpaet, Adityawarman, Eko, Alvin, dan Firza Huzein. Mereka disangka melanggar Pasal 107 jo Pasal 110 jo Pasal 87 KUHP.
Baca: Buru Penyandang Dana Ratna Sarumpaet Cs, Mabes Polri Temukan Bukti Transfer Dana
Dalam jumpa pers, Sabtu (3/12/2016), Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar menjelaskan bahwa para tersangka berupaya memanfaatkan aksi doa bersama yang diikuti massa dalam jumlah besar.
Ketujuh tersangka memiliki tujuan yang sama, yakni menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pasca-penetapan tersangka, berbagai pendapat kemudian muncul ke publik. Masyarakat pun bertanya-tanya mengenai perbuatan makar yang dituduhkan kepada para tersangka.
Tak mengherankan jika tuduhan makar tersebut menimbulkan pertanyaan.
Sebab, di beberapa negara yang pernah terjadi penggulingan kekuasaan, kudeta dilakukan dengan adanya aksi pemberontakan.
Bahkan, bisa jadi diikuti dengan adanya konflik senjata.
Tak tunggu pemberontakan
Perbuatan makar ternyata dapat dipidana tanpa harus ada tindakan pemberontakan secara fisik.
Penegak hukum dapat melakukan antisipasi pemberontakan dengan menangkap para pelaku yang diduga merencanakan upaya makar.
Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana, menjelaskan bahwa secara hukum, makar adalah suatu percobaan kejahatan.
Baca: Daftar Nama-nama Orang yang Disebut Penyandang Dana Rencana Makar, Eggi Sudjana Protes
Secara konstruksi hukum, makar dijadikan kejahatan yang berdiri sendiri dan dianggap selesai meski masih pada tahap percobaan.