"Sebab, bila makar harus sampai selesai, pelakunya menjadi penguasa baru. Nah, mana mungkin seorang penguasa baru diminta pertanggungjawaban hukum?" ujar Ganjar kepada Kompas.com, Senin (5/12/2016).
Ganjar mengatakan, percobaan kejahatan seperti yang diatur dalam Pasal 53 KUHP harus memenuhi tiga syarat.
Pertama, harus ada niat pelaku. Kedua, harus ada perbuatan permulaan pelaksanaan.
Kemudian, yang ketiga, tidak selesainya kejahatan bukan diakibatkan kehendak pelaku itu sendiri.
"Permufakatan jahat itu ada bila di antara pihak yang bermufakat telah terdapat kesamaan niat, perencanaan bersama yang ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan, dan adanya pembagian tugas yang jelas," kata Ganjar.
Penjelasan tersebut sesuai dengan keterangan yang disampaikan penyidik Polri.
Selain disangka melanggar Pasal 107 dan 87 KUHP, ketujuh orang yang sebelumnya diperiksa juga disangka melanggar Pasal 110 KUHP.
Pasal tersebut menjelaskan, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan makar, menurut Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108, diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.
"Permufakatan jahat adalah kejahatan yang bahkan belum dimulai," kata Ganjar.
Makar bukan kritik?
Aparat penegak hukum diminta berhati-hati dalam menerapkan pasal makar dalam memidanakan seseorang.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan, penegak hukum harus berhati-hati karena pasal tersebut multitafsir.
Menurut Al Araf, penegak hukum harus dapat membedakan antara makar dan kritik.
"Jangan sampai makar diidentikkan dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan menyampaikan pendapat," ujar Araf.