TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politik dinasti yang begitu mengakar di Indonesia telah menjadi benalu. Ketika mereka menguasai roda pemerintahan, anggaran daerah mengalir kepada kroni-kroninya.
Direktur Lingkaran Madani Indonesia Ray Rangkuti mengatakan, dikuasainya kekuasaan oleh dinasti politik semakin membuat warga tak menikmati berbagai fasilitas publik, karena anggarannya tersedot untuk kepentingan segelintir pihak.
"Politik dinasti jelas menghambat regenerasi politik, sirkulasi kekuasaan. Hampir semua daerah yang mengidap politik dinasti tidak bebas korupsi, seperti terjadi di Banten. Kakak adik kena kasus korupsi," Ray mencontohkan efek buruk dinasti politik dalam diskusi 'Lawan Korupsi Tolak Dinasti Politik' di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Selasa (20/13/2016).
Ray mengingatkan, praktik korupsi yang begitu subur di Banten adalah stimulan buruk dari pengaruh mengakarnya dinasti politik. Semua sumber daya ekonomi hanya teralokasikan ke saudara dan keluarga saja.
"Tidak ada yang diuntungkan dari politik dinasti, kecuali dinastinya sendiri, rakyat tidak akan mendapat apa-apa," tegas Ray.
Banten yang notabene memiliki anggaran hingga triliunan rupiah, akibat politik dinasti, masyarakatnya tak sejahtera, tak mampu menikmati akses pendidikan dan kesehatan memadai.
Jembatan roboh di Lebak yang jadi sorotan internasional hanya segelintir contoh.
"Dinasti politik tak ada gunanya bagi republik. Suburnya korupsi memberi bukti tak akan ada pembangunan memadai kalau dinasti politik makin subur di daerah. Menolak politik dinasti sama dengan mengatakan tidak kepada korupsi," tegas dia.
Adi Prayitno, dosen politik FISIP UIN Syarif HIdayatullah, menambahkan, seringkali menyoal dinasti politik apalagi di Banten selalu ada tudingan keberpihakan. Akibat sistem demokrasi belum ajeg dan absennya etika politik, dinasti politik melahirkan kecenderungan pada perilaku korup.
Indeks pembangunan manusia di Banten, kata Adi, selalu saja rendah akibat dinasti politik. Padahal, Banten sangat dekat bahkan berbatasan dengan Jakarta. Rendahnya IPM di Banten, setelah memisahkan diri dari Jawa Barat, menjadi bukti tidak ada kesejahteraan.
"Kenapa sedemikian hancur, karena politik dinasti menyuburkan praktik korupsi, terjadi, mulai level gubernur, wali kota, bupati," ujar Adi.
Koordinator Forum Banten Bersih (FBB) sekaligus Kepala Sekolah Anti Korupsi, Beno Novit Neang, meminta masyarakat lebih mewaspadai bahaya laten dinasti politik karena hanya menyuburkan korupsi.
"Politik dan korupsi dinasti, kasus di banten, korupsi itu bukan masalah serius yang disikapi. Keluarga koruptor masih dengan mudah memimpin," ungkap Beno.
Ia mengingatkan, korupsi di Banten begitu massif. Sistem politik dinasti di provinsi paling kulon pulau Jawa ini begitu menggurita. Tidak ada satu pun mereka yang menjadi bagian dinasti politik mampu mensejahterakan masyarakat.
"Politik dinasti mulai di era Ratu Atut, setelah tidak berkuasa, kemudian menunjuk anggota keluarga menjadi kepala daerah. Hampir lima daerah dikuasi oleh mereka. Politik dinasti ruang membuka untuk korupsi," tegas dia.
Beno menyarankan masyarakat harus menggunakan hak pilih dan tidak memilih para calon dari bagian yang terindikasi korupsi.
"Gunakan instrumen untuk memberi sanksi para politikus culas politik dinasti untuk tidak dipilih," Beno menambahkan.
Sangat tidak tepat ada penilaian, bahwa pengerakan antikorupsi tak boleh mengkritik politik dinasti karena masuk wilayah elektoral. Justru, gerakan antikorupsi harus masuk lebih dalam lagi.
"Kalau diam sama saja berdosa terhadap publik," ucap dia.
Banten sudah membuktikan korupsi besar sebagai anak kandung dinasti politik. Banten sebagai daerah korupsi terbesar setelah Aceh dan Papua. Tak heran KPK menjadikan Banten sebagai pilot project pencegahan korupsi. (Kontan/Hendra Gunawan)