TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepolisian tak mempermasalahkan rencana DPR yang bakal membentuk panitia khusus terkait penyidikan kasus dugaan makar.
Kepolisian pun tidak akan mencampuri proses politik di Senayan tersebut.
"Itu masalah berbeda. Jadi di kepolisian itu masalah hukum. Kita sedang proses," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rikwanto di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (13/1/2017).
Menurutnya, parlemen tidak bisa mencampuri ranah hukum karena penyidikan masih berjalan hingga dibawa pengadilan.
"Apapun yang dihasilkan merupakan wilayah masing-masing," kata Rikwanto.
Wacana pembentukan pansus muncul setelah para tersangka kasus dugaan makar meminta DPR menghentikan proses hukum yang tengah dijalankan di Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Usulan pembentukan Pansus DPR dicetuskan oleh anggota Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra, Wenny Warouw, di akhir pertemuan antara para tersangka dan pimpinan dan anggota DPR.
Sebelumnya, beberapa tersangka, seperti Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Ahmad Dhani, dan Hatta Taliwang, mendatangi Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/1/2017).
Kedatangan mereka disambut Wakil Ketua DPR Bidang Politik Hukum dan Keamanan dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon, serta anggota Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra, Wenny Warouw dan Supratman Andi Agtas.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai wajar usulan pembentukan Pansus Makar yang hendak diusulkan beberapa anggota Komisi III DPR seusai menerima kunjungan tersangka makar, Rachmawati Soekarnoputri.
"Saya sendiri mau jadi pengusul kalau Pansus itu dibentuk, terus terang saat ini mulai berjalan pengadilan terhadap pikiran. Ini tidak baik bagi sebuah negara demokrasi," kata Fahri.
Fahri menilai apa yang dituduhkan terhadap Rachmawati tidak bisa serta-merta disebut makar karena itu merupakan bentuk kritik kepada pemerintah.
Lagi pula, menurut Fahri, berdasarkan pengakuan Rachmawati, perkumpulan yang dianggap makar sebatas upaya kritik dan hendak mengembalikan UUD 1945 ke bentuk aslinya.
"Dalam sebuah negara demokrasi yang diadili semestinya orang jahat, bukan orang yang berpikir dan berpendapat," lanjut Fahri.
Berkas Perkara
Rikwanto menambahkan berkas perkara tersangka Sri Bintang telah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Sri Bintang terjerat dugaan penghasutan masyarakat melalui media sosial, disertai dengan makar.
"Yang sudah tahap satu kasus makar adalah berkas Sri Bintang Pamungkas," ujar Rikwanto.
Bersamaan dengan Sri Bintang, polisi juga melimpahkan berkas perkara dua tersangka dugaan menyebarluaskan ujaran kebencian terkait isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA), dan makar, Jamran dan Rizal.
Berkas keduanya juga dilimpahkan ke Kejati DKI Jakarta.
"Jamran dan Rizal sudah tahap satu juga," kata Rikwanto.
Sementara itu, berkas perkara tersangka lainnya masih disusun oleh penyidik Polda Metro Jaya untuk dirampungkan.
Dari 11 orang yang ditangkap pada 2 Desember 2016, tujuh di antaranya disangka murni akan melakukan upaya makar. Mereka adalah Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Huzein, Eko, Alvin Indra, dan Rachmawati Soekarnoputri.
Hatta Taliwang juga belakangan disangkakan terlibat dalam kasus yang sama. Mereka dijerat dengan Pasal 107 jo Pasal 110 tentang Makar dan Pemufakatan Jahat.
Dua lainnya, yaitu Jamran dan Rizal Khobar, diduga menyebarluaskan ujaran kebencian terkait isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA), dan makar.
Keduanya disangka melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik jo Pasal 107 jo Pasal 110 jo Pasal 55 ayat 2 KUHP.
Sementara itu, Ahmad Dhani dalam penangkapan itu ditetapkan sebagai tersangka penghinaan terhadap Presiden RI Joko Widodo. Dhani dijerat dengan pasal penghinaan terhadap penguasa, yakni Pasal 207 KUHP. (kps/gle)