TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengatakan menempuh jalur pengadilan/yudisial untuk menyelesaikan kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (kasus TSS) adalah hal yang sangat sulit.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly beralasan Kejaksaan sudah mengatakan kesulitan mencari bukti-bukti mengenai dugaan pelanggaran HAM pada kasus TSS.
Yasonna meminta agar kasus tersebut segera diselesaikan melalui jalur nonyudisial atau rekonsiliasi agar cepat selesai dan tidak terus menjadi dosa sejarah.
"Kan dari Jaksa mengatakan ya memang sulit mencari bukti-buktinya. Saya kira juga kita berkaca kepada negara lain ya untuk apa kita membawa dosa sejarah ini terus menerus. Kita cari lah jalan yang menurut kita bisa mencari win win solution," kata Yasonna di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Kamis (2/1/2017).
Lagi pula, kata Yasonna, sebenarnya kasus tersebut sudah pernah diadili meskipun pengadilan tersebut adalah peradilan militer.
Pemerintah, kata Yasonna, kita mencari cara agar menyelesaikan kasus tersebut tidak melalui jalur peradilan sehubungan kesulitan-kesulitan tersebut.
"Sekarang bagaimana menyelesaikannya harusnya harusnya perspektif kita begitu, Ada kan beberapa yang dibawa sebelumnya ke pengadilan tapi kalau sekarang kan sudah tidak dalam pikiran kita. Sebaiknya kita selesaikan dengan cara non yudisial," kata politikus PDI Perjuangan ini.
Wiranto Harus Tanggung Jawab
Sebelumnya, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menilai upaya rekonsiliasi dalam menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II ) merupakan langkah yang keliru dan melawan asas keadilan publik.
Ismail mengatakan, jika merujuk pada Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mekanisme non-yudisial hanya dibenarkan jika secara teknis hukum, sulit diperoleh bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di Pengadilan HAM.
"Sementara untuk kasus TSS, selain bukti-bukti telah dihimpun oleh Komnas HAM sendiri. Saksi-saksi peristiwa juga masih sangat mungkin dimintai keterangan karena masih hidup dan bahkan banyak yang menjadi pajabat negara. Karena itu pilihan non yudisial adalah langkah keliru dan melawan keadilan publik," ujar Ismail melalui keterangan tertulis, Kamis (2/2/2017).
Selain itu, menurut Ismail, ada bias politik atas pilihan rekonsiliasi dalam menyelesaikan kasus TSS dan menjadi keputusan yang pragmatis.
Ismail mengatakan, pada saat kasus Trisakti dan Semanggi terjadi, Wiranto memegang komando tertinggi atas TNI dan Polri yakni Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
Seharusnya, Wiranto dan beberapa pejabat TNI/Polri saat itu dimintai keterangan dan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, secara moral dan politis, penyelesaian kasus TSS tidak bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi.