TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI Komisi 1 Andreas Hugo Pareira ingin agar pesawat tempur bisa diproduksi di dalam negeri. Karena selama ini ada banyak kebutuhan TNI AU, namun harus diimpor karena ketidakmampuan industri terutama dari PT Dirgantara Indonesia (DI) dalam memproduksi pesawat tempur.
"Apa yang dikehendaki TNI AU tidak bisa dipenuh oleh perusahan di dalam negeri. Sehingga kemudian selalu dituduh TNI menggunakan produksi-produksi luar negeri," ujar Andreas di di diskusi Penguatan Industri pertahanan Nasional; fakta dan Realita, Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Menurut Politisi PDI-P, TNI tidak bisa menunda waktu pekerjaannya dalam menjaga keamanan di tanah air. Karena itu Andreas ingin secepatnya produksi pesawat tempur dilakukan di dalam negeri.
"Tentara tidak bisa istirahat dulu dalam menjaga wilayah ini. Nah kalau memang enggak bisa terpaksa TNI AU mencari ketempat lain untuk memenuhi kebutuhan mereka," ungkap Andreas.
Andreas menambahkan saat ini ada banyak keterlambatan kontrak kerja TNI AU yang harus dikerjakan PT DI. Hal itu terjadi karena ketidakmampuan perusahaan plat merah itu memproduksi pesawat secara mandiri tanpa ada kerjasama dari negara lain.
"Persoalan yang kita hadapi sebelumnya, bahwa apa yang dikehendaki TNI AU tidak bisa dipenuh oleh perusahaan di dalam negeri," ungkap Andreas.
Sementara itu Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan tidak seluruhnya kesalahan ada di PT DI. Menurut Fajar keterlambatan pengiriman terjadi pada tahun 1998 sampai dengan 2008.
"Keterlambatan lebih karena pengadaan komponen dan mesin pesawat yang datang terlambat. Jadi tidak sepenuhnya kesalahan PT DI," ujar Fajar.
Fajar memaparkan ada tiga negara yang juga mengalami keterlambatan pengiriman. Namun denda bisa tidak terjadi, jika antara PTDI membuat perencanaan kontrak jangka panjang dalam lima tahun.
"Perusahaan bisa membeli terlebih dahulu mesin-mesin pesawat yang diperkirakan akan dipesan operator dalam kontrak multi years," jelas Fajar